Tentang Pak Hamid dan sebuah gangguan

2.1K 232 43
                                    

Hari ini suasana cukup terasa cerah. Pagi sekitar pukul delapan, aku mulai jalan kaki ke arah warung kopi yang kemarin sudah dijanjikan oleh penjaga sekolah itu. Aku sengaja tidak mengajak siapapun agar wawancara kali ini lebih serius. Tak enak bila aku hanya mengajak salah satu di antara teman-temanku. Kalaupun aku ajak semua, sudah dapat ku pastikan Paul akan melontarkan pertanyaan absurd yang pasti akan membuat siapapun yang mendengarnya kesal.

Ternyata pagi ini lumayan dingin. Walaupun matahari sudah bersinar terik. Beruntung aku memakai Hoodie kebesaran yang membuatku cukup merasa nyaman tanpa kedinginan. Langkah kaki yang terbalut dengan sepatu Converse hijau ini mulai menyusuri pinggir sawah. Terlihat anak-anak sangat ceria dengan permainannya. Ada pula yang melambaikan tangan ke arahku. Aku pun melakukan hal yang sama dan membalasnya dengan tersenyum.

Sebelum aku sampai di warkop, aku sempat menoleh sebentar ke arah Taman kanak-kanak Naungan Bunda itu. Beberapa roh yang terbebas seakan-akan melambaikan tangan dan mengucapkan terima kasih kepadaku. Garis polisi telah memenuhi gedung itu. Tak ada suatu pun yang berani masuk.

"Nak!"panggil seseorang sambil tersenyum ke arahku.

Itu adalah si Bapak penjaga sekolah.

"Assalamu'alaikum, Pak." ucapku sambil berjabat tangan dengannya.

"Waalaikumussalam. Alhamdulillah saya kira kamu akan datang siang," ucap Bapak itu sambil tersenyum ramah.

"Tidak, Pak. Saya ke sini pagi-pagi sekalian melihat-lihat Suasana desa dan juga sekalian berlari-lari kecil,"ujarku sambil tersenyum ke arah Bapak itu.

"Oh, iya semalam kita belum sempat kenalan. Perkenalkan nama saya Nadira, Pak. Bapak bisa panggil saya dengan sebutan Dira," ucapku yang mencoba mengakrabkan diri.

"Oh, Dira ya. Perkenalkan nama saya Pak Gono. Saya tinggal di pinggir pematang sawah. Kalau boleh tau Dira asli sini atau bagaimana? Soalnya saya tidak pernah liat," tanya Bapak itu dengan ramah.

"Bukan, Pak. Kebetulan saya ditugaskan untuk menjaga sepupu saya, Cinta. Karena Omah saya sedang ada urusan di luar."

"Oalah, Cinta. Saya kenal dengan gadis itu. Setiap hampir menjelang siang sekitar pukul jam sepuluh, dia sering mengeluhkan perutnya yang sakit. Dia tidak berani mengadukan ke guru. Ia selalu mengadu kepada saya. Saya pun terus terang bingung harus berbuat apa."

"Oh, iya ngomong-ngomong Dira ini masih sekolah kah?"tanya Pak Gono dengan ramah.

"Saya sudah kuliah, Pak."

"Di daerah mana kuliahnya?"

"Daerah Jakarta, Pak," ucapku sambil tersenyum.

"Wah, lumayan jauh dari sini ya," ujar sang bapak sambil memesan dua cangkir teh kepada pemilik warung.

"Oh, iya Pak. Maaf, sekarang bapak kerja apa?" Tanyaku yang takut menyinggung perasaan Bapak itu.

"Saya kembali lagi menjadi seorang petani seperti dua belas tahun yang lalu. Kalau sore kadang saya menjual makanan kecil-kecilan seperti telur orak-arik. Alhamdulillah tidak apa-apa hasilnya tidak besar. Yang terpenting adalah halal. Terus terang saya banyak berterima kasih kepadamu, Dira. Kalau kamu tidak menumpaskan masalah ini, tentu saya akan merasa bersalah karena telah memberikan makanan yang haram untuk keluarga saya. Saya benar-benar tidak tahu-menahu soal kejadian ini," jelasnya.

"Sama-sama, Pak. Berarti TK itu sudah didirikan hampir dua belas tahun?" Tanyaku yang agak terkejut.

"Ya, kira-kira begitu. Sekolah ini tak pernah tercium bau-bau penyembah setan. Sekolah ini disiplin dan taat aturan. Walaupun memang saya sendiri sempat bingung karena aturan yang bisa dibilang lumayan nyeleneh itu."

Bisikan Maut ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang