Pahlawan

786 156 6
                                    

Selepas sholat Ashar tadi, kami berniat untuk makan sekadar mencamil rujak sebagai penyegar mata. Karena di antara kami sudah banyak yang lumayan kelelahan.

Segerombolan laki-laki duduk di pinggir taman kota untuk menunggu aku dan Elsa membeli rujak. Kami memutuskan untuk sedikit menyebrang guna menemui abang rujak yang mangkal di sana.

"Bang, rujaknya tiga bungkus, ya! Tambah pepaya sama mangganya!"

"Siap, neng!" Si Abang dengan cekatan langsung membungkuskan pesanan kami.

"Ini." Aku langsung menyerahkan uangnya dan mengajak Elsa untuk kembali ke tempat kumpul tadi.

Namun ....

"Kak!"

Aku menoleh ke arah selatan. Mataku melotot seketika saat melihat anak kecil yang hendak menyebrang. Di sisi kanannya ada tronton yang melaju kencang.

"Awas!" Aku berupaya untuk berlari sekuat tenaga menghampiri anak itu. Postur tubuhnya yang ringkih berhasil kuraih.

Tron... tron ....

Aku langsung membanting tubuh menjauh dari tronton besar itu. Suara bising teriakan orang berhasil membuatku pusing. Jantungku berdetak cukup kencang dan kurasakan sakit pada bagian lenganku yang paling kanan. Sepertinya akan ada bekas lecet yang cukup besar di sana akibat goresan badanku dengan aspal.

Cit ....

Suara mobil mengerem langsung membuatku nampak tak bisa bernapas lagi. Tenggorokanku tercekat dan aku merasa benar-benar seperti antara hidup dan mati. Kepalaku benar-benar pusing. Kurasakan pergerakan anak itu yang terus memelukku lebih erat.

Banyak orang mulai memanggil-manggil namaku.

"Dira! Sadar! Dira!"

Seseorang melepaskan pelukanku dari anak itu. aku mulai digotong ke tepi jalan.

"Lain kali kalau jalan hati-hati! Jalan raya begini malah ngebut! Situ kalau di tol mau ngebut baru dipersilakan! Otake dipakai!" Suara bariton milik Mas Wisnu masih kudengar sayup-sayup. Sepertinya ia memarahi si supir tronton itu.

"Dir, gapapa, 'kan?" Samar-samar aku melihat Mas Wisnu memposisikan diriku ke permukaan yang rata. Elsa mulai mengendurkan pakaianku yang dirasa agak ketat. Ia mulai menyelimutiku dan dibantu dengan Bang Andri, dia mulai memasangkan cairan infus ke tanganku.

"Dira gapapa, InsyaaAllah, sebentar lagi dia akan mulai membaik." Anehnya aku tak merasa pingsan seperti biasanya jika merasa terkejut atau apa. Hanya saja jantungku masih berdetak cukup cepat.

Setelah badan ini terasa enak, akhirnya mata ini sayup-sayup bisa dibuka secara perlahan. Kulihat semua mulai tersenyum. Ternyata tadi aku sempat tertidur sebentar. Kini terlihat beberapa anggota relawan lainnya menyusul kami karena merasa khawatir.

"Alhamdulillah, sudah sadar." Suara Muhzeo langsung membuat yang lainnya melihat ke arahku. Mas Wisnu terlihat memberi jarak kepada yang lainnya untuk tidak berkerumun agar pasokan udara dapat dihirup lancar olehku.

"Mbak." Panggilan lembut dari seseorang langsung membuatku menoleh. Seorang perempuan muda yang sangat cantik terlihat menangis dan memegang tanganku dengan perlahan. Aku agak keheranan sebentar. Siapa wanita ini? Apakah dia mengenalku?

"Terima kasih banyak karena sudah menyelamatkan anak saya, Hira." Ucapan dari perempuan itu langsung membuatku menoleh ke arah anak kecil itu. Aku tersenyum perlahan dengan hati yang begitu adem dan tenang. Tanganku perlahan meraih tangan kepala anak itu.

"Ka–kamu ga–papa?" tanyaku dengan suara yang terbata dan lirih.

"Aku enggak apa-apa, Kak. Terima kasih. Kalau enggak ada Kakak, Hira enggak tau jadi bagaimana." Ucapan anak itu berhasil membuatku tersenyum dan bertambah senang.

Bisikan Maut ✓Where stories live. Discover now