1 | Ray Haris

21.7K 2.5K 114
                                    

From : Amelia Resti Sutedjo
To : Raykarian Haris
Date : 5 November 2020, 6:01 pm
Subject : Alasan pulang

Hai Mas, apa kabar?
Semoga baik-baik ya, seminggu ini aku coba telepon tapi nggak tersambung juga, aku pikir Mas Ray masih di daerah tanpa jangkauan sinyal, jadi aku kirim email supaya bisa langsung dibaca kalau sampai. Acara lamaranku sama Riz berjalan lancar dan kami memilih 1 Januari sebagai tanggal pernikahan, kata Bagas tahun baru, status baru, hehe :D

Aku nggak pengin kiriman kado apa-apa, penginnya Mas Ray pulang. Sudah hampir sepuluh tahun Mas Ray cuma mampir kalau ke rumah, kali ini aku pengin Mas Ray beneran pulang, tinggal untuk ikut memberikan restu di pernikahanku dan Riz.

Bapak, Ibu kangen banget sama Mas Ray, mereka pengin anak lanangnya pulang. Riz juga pengin kenalan secara langsung sama Mas Ray, nggak lewat skype kayak enam bulan lalu, mana blur sinyal jelek. Aku tunggu kabarnya Mas Ray, dan kalau acaraku nggak bisa buat Mas Ray pulang juga, tandanya kami sekeluarga nggak berarti lagi buat Mas Ray... dan aku sama ibu akan sedih banget.

Ray membaca surel tersebut dan meraih cangkir kopinya terlebih dahulu, ia menyesap pelan sembari memikirkan balasan terbaik yang harus diberikannya. Sepuluh tahun memang sudah berlalu sejak pertemuan terakhirnya dengan Amelia di Pengadilan Agama, untuk sidang putusan perceraian. Sejak itu, setiap kali ke Indonesia dan menyempatkan diri datang, Ray sekadar memberi salam ke rumah keluarga Sutedjo, tidak pernah tinggal lebih lama dari habisnya isi cangkir teh yang dihidangkan sang ibu.

"Ray, mau ikut ke Viviane?" tanya Ara, teman satu apartemen Ray. Viviane adalah restoran keluarga yang terletak dua blok dari apartemen mereka.

Ray menggeleng, "Pesankan aku, seperti biasa."

Ara lebih dulu mendekat, memperhatikan layar laptop Ray dan membaca surel Amelia dalam diam. "Aku rasa kau tidak punya pilihan kali ini, kau memang harus pulang."

"Ada jadwal ke Andapa bulan Februari, persiapan untuk-"

"Ray Haris tidak membutuhkan persiapan selain diri sendiri dan tas kameranya untuk berangkat memotret." Ara menyela dengan santai, mengambil alih cangkir kopi di tangan Ray, menghabiskan isinya. "Ada satu alasan besar mengapa kau harus pulang."

Ray bukannya tidak tahu akan hal itu, "Pergilah, sebelum kita kehabisan olahan daging dan berakhir mengunyah daun lagi."

Ara bergeming di tempatnya, "Jika kau datang artinya kau benar-benar menerima perpisahan kalian dulu, tidak ada dendam atau perasaan tersisa selain persaudaraan yang-"

"Kau mau pergi atau tidak? Aku sudah sangat lapar." suara berat terdengar dari belakang, suara teman satu apartemen Ray yang lain, Hwang Jae-in.

"Aku datang, kau sudah janji untuk mentraktir," kata Ara sembari meletakkan cangkir kopi Ray, lalu mendekat ke pintu tempat Jae-in menunggu.

"Bos, untuk stok mau Heineken atau Cola?" tanya Jae-in menatap Ray yang menoleh.

Ray melirik Ara dan menjawab, "Cola, aku tidak mau membereskan kekacauan yang diakibatkan seorang gadis karena mabuk bir."

Ara memeletkan lidahnya sembari mengenakan mantel dan sepatunya. "Kau semakin tua karena cerewet tentang hal itu, Ray." Ara mengikuti Jae-in keluar apartemen. "Bagaimana jika kita beri ekstra lada untuk makanan Ray?"

Jae-in tertawa tapi menggeleng, "Tidak, Ara."

Suara pintu tertutup membuat Ray kembali menatap layar laptopnya. Sebagai orang yang sudah sebelas tahun mengikuti Ray, Ara tahu banyak hal. Apa yang Ara katakan juga tidak sepenuhnya salah. Ray sendiri sudah sejak lama menyadari bahwa keluarga Sutedjo membutuhkan bukti bahwa ia baik-baik saja, bahwa pilihannya meninggalkan Indonesia memang dikarenakan tuntutan pekerjaan dan bukan untuk melarikan diri dari kegagalan pernikahannya dengan Amelia.

0.99% MATCH (PUBLISHED by Karos Publisher)Where stories live. Discover now