7 | Negotiation

11.2K 2.6K 321
                                    

"Jadi, sebaiknya aku panggil apa?" tanya Dy sebelum kemudian menambahkan, "please, jangan suruh panggil Pak atau Om, itu enggak cocok, kau enggak terlihat setua itu ternyata."

Selain cantik dan agak usil, Dy ternyata juga tipe yang berterus terang, diam-diam Ray membuat penilaian. Ray tidak menyangka dengan gadis yang ditemuinya ini. Ia tidak berespektasi apapun, tapi dalam benaknya Dy Madia mungkin seorang kutu buku dengan penampilan kaku. Bukan gadis muda cantik dan berpenampilan trendy seperti yang sekarang berjalan bersamanya keluar toko buku.

"Panggil Ray saja, enggak masalah."

"Ray? Begitu saja?"

Ray mengangguk, "Aku juga akan memanggilmu Dy, begitu saja."

Dy tertawa, "Kalau itu sih memang namaku, oke, jadi aku akan panggil Ray."

Ray pikir situasi ini tidak akan jauh berbeda dengan situasi yang dialaminya dengan Ara. Sifat Dy juga mirip dengan Ara yang agak usil dan suka berterus terang. Dan jika benar begitu maka membawa Dy ke Yogyakarta adalah pilihan buruk.

"Kenapa diam saja? Aku enggak secantik bayanganmu ya?" tanya Dy.

Ray meringis, Dy Madia jelas melebihi espektasi kecantikan seorang gadis dalam benak lelaki. Mata bulatnya menawan, hidungnya mancung, tulang pipinya tinggi namun terihat lembut, bibirnya membentuk senyum bahkan walau gadis itu tidak membuat ekspresi apapun. Bahkan dibanding Amelia saat seusia itu, Dy jauh lebih cantik.

"Itu hanya pertanyaan retoris bukan? Aku yakin kau menyadari aku terpesona tadi."

"Ya ampun bahasamu, terpesona." Dy terkekeh lalu menunjuk restoran tak jauh di depan mereka. "Mau makan di sana? Spaghettinya enak, pizzanya juga, bahkan garlic breadnya juga."

"Boleh."

Dy bukan jenis gadis yang canggung berhadapan dengan orang baru. Saat memasuki restoran, gadis itu juga ramah menanggapi sapaan pelayan, ketika menego posisi tempat duduk juga terdengar amat santai. Mereka menempati meja sudut dengan empat kursi.

"Aku enggak masalah dengan meja dua kursi tadi," kata Ray.

"Lebih enak di sini, jadi kita bisa taruh tas, ranselmu sepertinya berat."

Ray memang membawa kameranya, karena setelah menemui Dy akan langsung menyusul Jae-in, asistennya itu pergi memotret ke Hutan Kota di Senayan. Ray tidak menyangka Dy akan memperhatikan itu.

"Mau makan apa?" tanya Dy sembari membuka buku menu.

"Kuserahkan soal pilihan makanan padamu, pesan saja yang enak," kata Ray, bagaimanapun ini pertama kalinya ia makan di restoran ini.

"Enggak ada alergi jamur atau protein tertentu kan?" tanya Dy lagi.

"Enggak."

Dy mengangguk dan kemudian memesan, untuk minuman Ray memilih sendiri.

"Aku tahu alasanmu memilih es teh lemon," kata Dy setelah menyelesaikan pesanan makanan dan pelayan berlalu dari meja mereka.

"Kenapa?" tanya Ray.

"Karena teh di luar negeri rasanya enggak seenak yang di Indoensia."

Ray tertawa, "Sering ke luar negeri juga?"

"Aku berencana berkeliling dunia, dan aku mencari tahu apa yang harus kusiapkan, kata teman-temanku, teh dan sambal enggak boleh ketinggalan."

"Teh, sambal, dan Indomie kalau bisa."

"Indomie kan ada di mana-mana."

"Beda, di beberapa negara enggak ada kecapnya."

"Serius?"

0.99% MATCH (PUBLISHED by Karos Publisher)Where stories live. Discover now