10 | Berangkat

11.3K 2.5K 315
                                    

"Kadian," panggil Lina saat putrinya tampak tersenyum-senyum memandangi ponsel.

Dy mendongak untuk menatap sang ibu, "Iya, Ma?"

"Ada hal yang mau kamu ceritakan sebelum Mama berangkat?" tanya Lina.

"Cerita apa?" tanya balik Dy, meski menyadari bahwa ibunya mungkin curiga tentang tingkahnya yang terlalu akrab dengan ponsel baru-baru ini. Ia suka berkirim chat dengan Ray, ia baru mengajari lelaki itu cara mengoleksi dan mengirimkan stiker.

"Ya, apa saja, ada rencana kumpul sama teman-temanmu?" tanya Lina.

"Besok mungkin, mereka pasti mau menitip oleh-oleh," jawab Dy, meski sebenarnya ia belum memberitahu teman-temannya perihal keberangkatan ke Yogyakarta.

"Kamu enggak berangkat pakai pesawat saja? Biar cepat?"

Sebenarnya Dy ingin begitu, tapi Ray mengajaknya naik kereta dan karena urusan tiket sudah dibereskan Ray, mau tidak mau Dy mengikuti. "Sesekali coba naik kereta."

"Kamu pesan dua kursi langsung ya? Biar enggak sebelahan sama orang aneh."

Dy terkekeh, "Lho siapa tahu, Dy sebelahan sama orang ganteng."

"Anak Mama tahu apa soal orang ganteng." Lina mencubit pipi putrinya dengan sayang. "Jangan cari orang ganteng, cari orang yang buat kamu nyaman, yang mengerti dan bisa bertanggung jawab atas hidup kamu."

"Iya, iya, Dy cari yang kayak Papa pokoknya."

"Papa enggak ada duanya, ya, spesial diciptakan hanya untuk Mama."

Dy memandang raut berseri-seri sang ibu. Hal yang tidak pernah berubah setiap kali membicarakan sang ayah. Bahkan dulu saat kehidupan belum sebaik ini pada mereka, Dy sudah sering mendengar keyakinan semacam itu. "Bagaimana Mama bisa merasa yakin, bahkan sejak dulu sebelum Papa sesukses sekarang, kenapa Mama mau bertahan?"

"Karena Papa memang enggak pernah menjanjikan apa-apa, dia mengatakan mencintai Mama, ingin kami hidup bersama dan mencoba bahagia... dia enggak menjanjikan hidup mewah atau mudah." Lina memandang cincin kawinnya, bukan emas melainkan perak. "Dan saat kehidupan benar-benar enggak mudah untuk kami, cinta dan kebersamaan itu yang jadi sumber kekuatan agar terus mencoba bahagia."

"Mama bilang aku summer power."

Lina tertawa, "Iya, kamu juga, sumber kekuatan terbesar kami."

Dy memeluk ibunya ketika melihat sang ayah mendekat, "I will miss you."

"Jangan lupa makan ya, dan enggak boleh mematikan ponsel."

"Iya, Ma."

Jati Madia yang sedari tadi mengurus koper tersenyum memandang putri dan istrinya, "Masih bisa ini untuk tiket susulan."

Dy tertawa dan menguraikan pelukan ibunya, "Dy punya tiket sendiri dong, Papa baik-baik sama Mamaku ya, jangan terlalu sibuk kerjanya."

Jati membungkuk untuk memeluk sang putri, "Kamu juga baik-baik ya, Dy... jangan dimatikan ponselnya, kalau ada apa-apa juga kabari kami."

"Iya, jaga kesehatan, sering-sering pelukan biar enggak kedinginan."

Dy membiarkan pipi dan keningnya dicium, lalu memeluk orang tuanya bersamaan sebelum mengantar mereka ke gerbang keberangkatan. Lina dan Jati melambaikan tangan sembari berjalan menjauh. Dy tertawa saat baru beberapa langkah, sang ibu kembali untuk mencium pipinya lagi.

"We love you so much, Kadian..." ucap Lina dengan tatapan berkaca-kaca.

Dy tersenyum, "I love you too, kita telepon setelah kalian sampai, oke?"

0.99% MATCH (PUBLISHED by Karos Publisher)Where stories live. Discover now