21 | Issue

14.1K 2.9K 1K
                                    

Ray mengetuk pintu kamar Dy, tiga kali ketukan sampai terdengar suara kunci diputar.

"Ray, janji ya, kalau aku buka pintunya, enggak akan bahas soal yang tadi?" suara Dy terdengar lirih, seolah butuh keberanian untuk melakukan itu.

"Soal yang apa? Ular modern?"

"Ray!"

Ray tertawa, "Oke."

"Oke, apa?"

"Oke, aku janji enggak akan bahas soal yang tadi."

Dy membuka pintu kamarnya dan segera mundur karena mendapati Ray membawakan laptop sekaligus ponselnya. Ray memasuki kamar Dy, meletakkan laptop dan ponsel ke meja rias. Sekarang Ray baru melihat ada wadah khusus, berwarna merah muda dan berisi produk perawatan wajah.

"Ah, ini yang dibicarakan teman-temanmu tadi?" tanya Ray.

"Yaa..." Dy segera meraih dan menutup ristleting pouch-nya.

"Aku pikir enggak pakai make up, kelihatan selalu natural."

"Make up dan skincare beda, Ray." Dy akhirnya membuka lagi pouch-nya, membagi isinya dalam dua bagian. "Wadah-wadah kaca ini, krim malam, krim pagi, eye cream, terus ini serum, toner, cleanser, sunscreen dan sleeping mask... itu sebutnya skincare, nah yang ini, lipstick, bedak, eyeshadow, eyeliner, mascara, concealer, ini disebut make-up."

Ray mengamati dan mengangguk, ia kemudian menyentuh satu benda yang tidak ikut dikeluarkan, "Ini lipstick juga?"

"Oh, itu vitamin bibir."

"Vitamin bibir?"

"Iya, bibirku kan kering."

"Waktu itu enggak, lembut kok."

"Hah?"

"Eh." Ray kelepasan dan segera meletakkan vitamin bibir milik Dy kembali ke dalam wadah. Dy yang salah tingkah ikut membereskan skincare dan make up yang semula dikeluarkannya. Karena terburu-buru salah satu lipstick Dy terjatuh, menggelinding di lantai.

"Aduh," ucap Dy dan Ray ketika sama-sama membungkukkan badan lalu berakhir saling membenturkan kening.

"Sakit ya ampun, kepalamu keras banget."

Ray menegakkan tubuh sembari tertawa, "Masa sih?"

"Benjol enggak?" tanya Dy setelah meletakkan lipsticknya langsung menghadap Ray.

Ray menyeka anakan rambut Dy untuk memperhatikan lebih jelas dan hal itu justru semakin mengingatkan saat Dy menciumnya dulu. Mereka berpandangan dengan tatapan bingung, juga pipi yang mulai merona.

"Ng, kayaknya... enggak pa-pa," kata Dy sebelum makin salah tingkah.

"Dy, aku juga mau diingat, sampai nanti-nanti..." kata Ray sembari memindahkan tangannya dan menangkup wajah Dy.

Dy tahu maksud kalimat tersebut, ia memejamkan mata saat Ray menundukkan kepala lalu menciumnya. Ketika menulis adegan ciuman dalam cerita, Dy selalu membuat narasi bagai merasakan kupu-kupu bertebangan di perut atau jantung terasa kebas karena begitu gugup dan intensnya. Tapi ketika mengalaminya sendiri, Dy merasa bahwa situasinya adalah kombinasi dari semua hal itu. Ia gugup, bingung, pusing dan lemas, tapi semua itu sebanding dengan debaran menyenangkan ketika merasakan keberadaan Ray.

Bibir Ray lembut menyapu, mengecup dan lebih dulu menikmati tekstur bibir bawah Dy sebelum lidahnya yang berkelana ketika Dy membuka mulut. Dy hampir tidak menyadari bahwa ia butuh bernapas sampai ketika Ray menjauhkan kepala. Hanya satu tarikan napas yang didapatnya sebelum kembali dicium dengan antusiasme yang lebih dari sebelumnya. Tangan Ray tidak lagi menangkup pipi Dy, namun mendekap, menghilangkan setiap jarak dan menempelkan tubuh mereka. Dibanding apa yang dulu Dy lakukan, apa yang Ray berikan ini jelas jauh berbeda dan tanpa dekapan lelaki itu, Dy pasti sudah jatuh terduduk di lantai saking lemasnya.

0.99% MATCH (PUBLISHED by Karos Publisher)Where stories live. Discover now