0.99% MATCH

12.8K 1.5K 445
                                    

"Payah, ah, Pak Jati! Dipepet seminggu doang, luluh!" gerutu Febrian ketika mereka berkumpul bersama dan Dy membagikan undangan untuk acara pertunangannya.

Yumna tertawa. "Gimana enggak luluh, setiap hari disamperin."

Dy geleng-geleng kepala. Ray memang setiap hari datang ke rumah dan itu bukan demi menghabiskan waktu dengannya, melainkan pendekatan pada sang papa. Hanya dalam dua hari, Jati Madia sudah mulai luluh. Gantian beliau yang mengajak Ray berkegiatan bersama, dari memancing sampai melihat lokasi syuting.

"Tapi sebenarnya luluh bersyarat juga, sih," ucap Dy. Mereka membicarakannya saat makan malam bersama dua hari yang lalu. Ray mengungkapkan niatnya untuk melakukan lamaran resmi dan jika memungkinkan, pernikahan dilakukan bulan depan usai dia pulang dari Andapa. "Jadi, Papa bilang, boleh lamaran resmi, menikah secepatnya, tapi ... tinggalnya di rumah dahulu."

"Rumah? Rumah lo?" tanya Choky.

Dy mengangguk. "Papa enggak ngasih kalau gue langsung ikut Ray."

"Kalau perempuan yang ngikut ke rumah mertua, sih, enggak masalah, tapi sebaliknya?" Febrian menggelengkan kepala. "Itu masalah men's pride juga, lho."

"Mau di mana saja, yang namanya ngikut mertua, ya, sedikit banyak ada kikuknya, apalagi ini pengantin baru," kata Ayaka.

"Ray emang enggak bisa beli rumah gitu di Jakarta?" tanya Yumna.

"Justru Papa bilang gitu karena tahu Ray bisa beli rumah di Jakarta atau bisa bawa gue ke Yogyakarta, ke rumah keluarganya di sana. Pusing-pusing gembira nih gue."

Ayaka tertawa. "Ray langsung setuju gitu, Dy?"

"Iya. Kata dia, yang penting kami menikah. Gue juga merasa itu yang penting. Gue emang pernah bilang kalau berat jauh dari orang tua, enggak mau menetap di Amerika, tapi maksud gue enggak tinggal bersama juga. Perumahan sebelah masih ada unit yang kosong."

"Emang berapa lama, sih?" tanya Febrian.

Dy mengangkat bahu. "Enggak tahu, makanya gue pusing."

"Tapi lo yakin, kan, soal ini, Dy?" tanya Choky.

"Iya, terus soal cewek yang sebelumnya tinggal sama Ray di Amerika itu beneran udah kelar, kan? Dia beneran ngelepas Ray buat lo?" Yumna ikut bertanya.

"Yakin. Dan soal Ara, mau ngelepas kayak gimana, Ray emang tipe orang yang tanggung jawab, jadi pasti bakal tetap mengawasinya juga."

Ayaka memandang Dy lekat. "Terus lo enggak apa-apa gitu, Dy?"

"Sebelum pulang, gue sempat agak syok lihat Ara minum teh dari cangkirnya Ray." Dy memperhatikan teman-temannya menyimak serius. "Pikiran gue udah macem-macem, kok santai banget dia begitu? Tapi setelah gue perhatikan, Ray enggak minum lagi kalau cangkirnya udah dibekasin orang lain."

"Orang lain?" tanya Febrian.

"Iya. Ternyata Ray emang enak kalau bikin kopi atau milktea gitu. Jae-In dan Bagas juga langganan nyerobot cangkirnya Ray." Dy kemudian tersenyum-senyum. "Terus yang paling bikin gemes, gue enggak boleh ganti baju di kamar Bagas. Nah, si Ara numpang mandi di sana juga dibiarin saja sama Ray, enggak dilarang-larang ...."

"Bisa banget bapak duda, aw!" Ayaka ikut tersenyum-senyum.

"Coba nanti lo nyerobot cangkirnya Ray juga. Dia bakal gimana," kata Febrian.

"Ih, ngapain amat!" gerutu Dy kemudian tersenyum melihat sosok yang memasuki kafe. Ia langsung berdiri, mengangkat tangannya. "Ray!"

Ray menoleh, tersenyum, dan mendekat, menempati kursi kosong di samping Dy.

0.99% MATCH (PUBLISHED by Karos Publisher)Where stories live. Discover now