PROLOG

3.7K 199 0
                                    

Sial, sial, sial.

Harusnya ia mendengarkan apa yang dikatakan kakak-kakaknya untuk mengambil penerbangan lebih awal. Tapi bagaimana jika sebenarnya ia tidak ingin pergi dari kota kelahirannya? Bagaimana jika ia tidak tega meninggalkan kedua orang tuanya di Malang dan tetap dipaksa menyusul Mbak Lina serta Mas Anggara ke Jakarta?

Hanya karena ayahnya akan pensiun akhir tahun ini, ditambah bulan ini adalah saat-saat penerimaan murid baru, ia harus pindah ke Jakarta lebih awal dibanding kedua orang tuanya.

"Nggak apa-apa, Ra, toh nanti Mama Papa pindah ke Jakarta akhir tahun ini," begitu bujuk mereka.

Namun setidaknya, ia tidak sendirian, ada Mbak Lina yang sudah memasuki perkuliahan semester ketiga di salah satu perguruan tinggi negeri dan Mas Anggara yang kini telah mewarisi perusahaan Papa di cabang Jakarta.

"Maap nih Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, Adek-Adek, angkotnya beneran kagak bisa jalan, mesti masuk bengkel ini." Abang tukang angkot masih berkutat dengan mesinnya sejak 12 menit yang lalu.

"Yah, gimana sih abang! Mana pasar masih jauh," sahut ibu-ibu berdaster.

"Au nih, bukannya di benerin dulu dari kemaren," sahut bapak-bapak.

"Ye mana saya tahu angkotnya bakal mogok begini, maklumin dah, mesin tua ya begini ini. Udah kagak perlu bayar dah, yang penting pada turun ye." Logatnya khas Betawi ala babe-babe FTV.

Rentetan suara ngedumel terdengar silih berganti.

Mengingat ia baru saja tiba di Bandara Soekarno-Hatta sekitar tengah malam tadi, dan ia belum tahu dimana letak sekolahnya, dengan sok tahunya ia menolak Mas Anggara untuk mengantarkannya ke sekolah. Good job, Rara! Sesalnya dalam hati.

"Bang, arah ke SMA Bina Bangsa dimana ya?" Tanyanya ke abang tukang angkot.

"Deket Neng, tinggal lurus aja trus belok kanan, kira-kira lima ratus meter dari belokan." Jawab abang tukang angkot sambil menunggu semua penumpang turun.

"Makasih, Bang."

Baiklah, ia tinggal jalan sebentar, lalu sampai, kan?

Tahu begitu, ia turun angkot dari tadi. Namun ketika Rara melihat ke depan, ia terdiam, jalanan menuju sekolahnya menggenang. Oh ya, jangan lupa, ia sedang berada di Jakarta dimana air menggenang bukanlah sesuatu yang mengherankan, lalu apakah ini termasuk kesialan. Tentu saja!

Rara berusaha mencari trotoar yang lebih kering, meskipun sepatu barunya tetap tak bisa selamat dari corak lumpur yang memudarkan warna hitamnya. Sebentar lagi sampai sekolah! Semangatnya dalam hati.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara kecipak air yang teredam suara motor ninja milik seorang pelajar.

Benar-benar terkejut!!

Ia berdiri mematung saat motor itu berlalu. Meninggalkannya dalam keadaan basah dan kotor.

"Aaarrghhh!!!"

Teriaknya kesal sambil menghentak-hentakkan sepatu kirinya yang tak berbentuk. Rok dan atasannya jelas tidak bisa diselamatkan. Sial!

INDIGO'S LOVE [End]Where stories live. Discover now