MOS HARI KEDUA

1.6K 153 0
                                    

Baik Fadil, Wisnu, maupun Rara sama sekali tidak menyinggung apapun yang terjadi kemarin sore di toilet sekolah. Mereka semua tahu dan paham, jika membahas apapun yang berbau tentang 'mereka', makhluk tersebut pasti merasa terpanggil. Untuk menghindari hal yang tidak-tidak, sebaiknya mereka melupakannya.

Satu hal yang menjadi pelajaran Rara ketika berada di sekolah ini adalah, jangan memasuki toilet sendirian lagi. Sebagai orang yang hidup di lingkungan mistis, ia paham betul bahwa ia masih belum bisa mengendalikan diri jika hal-hal gaib terjadi. Beda dengan kedua kakaknya yang sudah ahli di bidang ini dan bahkan mampu mengendalikan 'mereka' di tubuh orang lain.

Saat Rara masih kanak-kanak dulu, ia melihat sosok-sosok itu seperti manusia biasa, hanya saja ia sering heran kenapa orang itu berpakaian kotor, rambutnya gembel dan pendiam. Namun seiring berjalannya waktu, ia semakin mengerti bahwa mereka adalah makhluk yang berbeda, saat itulah ia mulai takut, sosok-sosok itu tak lagi bersahabat, kebanyakan, mereka memanfaatkan rasa takutnya sehingga tak jarang Mas Anggara dan Ibunya membantunya pulih dari gangguan makhluk negatif.

Menjadi berbeda bukan berarti istimewa. Meskipun banyak diluar sana orang-orang ingin memiliki kemampuan lebih agar bisa melihat 'mereka', tapi percayalah, menjadi anak indigo tidak semenyenangkan itu.

Salah satu contohnya adalah ketika teman-temannya mulai menganggap Rara aneh karena tiba-tiba ketakutan, tiba-tiba tertawa sendiri karena ketempelan, bahkan sampai tidak bisa menggerakkan tubuhnya sendiri. Dan ia sering kali dianggap gila, dijauhi teman-temannya karena dianggap berbahaya.

Itu yang ditakutkannya ketika melihat Fadil dan Wisnu pagi ini. Apakah mereka akan membicarakan kejadian kemarin kepada teman-teman lain? Apakah kejadian masa SMP akan terulang lagi? Apakah ia harus pindah sekolah lagi untuk menghindari perlakuan tak biasa teman-temannya? Ia bahkan belum genap seminggu berada di sini.

Untungnya, sampai istirahat kedua selesai, Fadil dan Wisnu tidak membahas peristiwa kemarin, sama sekali. Hanya satu yang membuatnya sedikit khawatir saat ini, yaitu sikap salah tingkahnya ketika berada di dekat Wisnu.

Rara sulit memfokuskan diri. Rasa malunya tidak bisa ia tutup-tutupi. Dan berkali-kali ia membenturkan jidatnya ke meja. Kenapa ia bisa memeluk Wisnu seperti itu kemarin? Bagaimana kalau ia dicap kegatelan atau mencari-cari kesempatan? Ia tidak mungkin menjelaskan kalau ia diganggu hantu, kan? Tch! Rara merutuki dirinya sendiri.

"Kenapa Ra? Kok salting gitu."

Fadil tersenyum geli memperhatikannya dan Wisnu bergantian. Wisnu hanya memasang ekspresi datar sedangkan Rara melengos dan kembali menyimak Dilla yang masih asyik mengghibah para anggota OSIS.

Perjalanan menuju auditorium membuat Rara menjadi tahu aib-aib para seniornya, karena memang banyak lulusan SMP Bina Bangsa yang melanjutkan ke SMA Bina Bangsa. Yayasan Bina Bangsa memiliki beberapa tingkatan sekolah mulai dari TK sampai SMA. Tak heran, Dilla hafal seluk beluk mereka.

Saking asyiknya Rara memperhatikan Dilla bercerita, mereka tidak sadar ketika materi hampir di mulai. Hal itu tak luput dari perhatian anggota OSIS, mereka berdua seketika dipanggil ke depan.

Wajah Dilla tampak pucat pasi kala namanya dipanggil senior. Sedangkan Rara memejam tak percaya bahwa sekali lagi harus di perhatikan seluruh peserta MOS.

"Lo lagi, lo lagi." Senior paling galak bernama Sarah itu bersedekap di depan Rara yang tertunduk.

"Rara Indriani Wijaya, nama lo bagus, tapi etika nol besar!!" Sarah mengibaskan karton indentitas yang dikalungkan di leher Rara.

Ada jeda panjang yang justru membuat suasana menjadi horor.

"Lo kayaknya hobi banget bikin masalah. Seneng banget kayaknya di panggil kedepan gini. Kenapa? Mau caper? Ada yang lo taksir sampai segininya bikin ulah? Hah?!"

INDIGO'S LOVE [End]Where stories live. Discover now