1. First Snow

48 5 4
                                    

Kalau kau tanya apa kegiatan favorit Adam selama musim salju, maka bocah sembilan tahun berambut cokelat dengan manik mata kelabu itu pasti akan menjawab, “Mengeruk salju!” sambil mengangkat tangan tinggi-tinggi dan tersenyum lebar.

Bukan karena upah yang diberikan setelah pelataran rumah tetangganya bersih, melainkan karena seorang teman yang dijumpainya selama mengeruk salju.

Mendengar itu, bola mataku membesar karena terkejut. Kedua alisku pun terangkat tanpa aba-aba. “Karena aku?” tanyaku menunjuk diri sendiri.

Namun Adam segera menggeleng sambil memejamkan mata. Asap dingin mendahului keluarnya pernyataan dari lisannya. “Jangan ge-er, Tuan Atkinson,” jawab bocah itu meledekku. “Kau memang teman yang menyenangkan, tapi aku punya alasan lain.”

Adam menegakkan punggung agar bisa menyamai tinggi telingaku, kemudian berbisik, “Coba kau lihat anak di arah jam satu. Alasanku bersemangat setiap salju turun pertama kali adalah dia.

Sembari menyesap tes hangat dalam gelas kertas yang diberikan oleh pemilik rumah nomor 31 sebagai bonus, bola mataku bergerak mengikuti arahan Adam. Dari jarak tujuh meter, terlihat putri bungsu keluarga Clarke, tersenyum manis selagi membuat boneka dari salju yang turun perdana semalam.

Aku bisa mengeruk salju sambil sesekali mencuri pandang pada gadis blasteran Asia itu keesokan harinya, seperti sekarang.”

Aku tertawa lepas mendengar penjelasannya yang seperti orang dewasa, sampai teh di gelasku tumpah dan meninggalkan bercak cokelat pada salju di sekitar tempat kami berdua beristirahat sebelum melanjutkan aktivitas mengeruk salju. Adam langsung mendekap mulutku dengan sarung tangannya yang dingin. Aku tidak keberatan dengan sikapnya yang agak tidak sopan. Bocah polos ini selalu menganggapku seperti teman sebaya dan sebagai sebatang kara, aku menerimanya. Meski kalau dipikir-pikir, sebaya dari mana?

“Jangan berisik, Tuan! Bagaimana kalau Bella mendengarmu, lalu dia penasaran?”

Kulihat kedua pipi Adam semakin memerah, tanda jika ia malu. Melihat hal itu, aku semakin sulit menahan tawa. Coba lihat siapa yang sedang jatuh cinta?

“Baiklah. Kerutan di dekat matamu semakin banyak, Tuan,” ujar bocah itu sedikit kesal dan mulai bangkit dari atas potongan batang pohon yang kami duduki sejak tujuh menit yang lalu. Adam mengambil pengeruk salju kesayangannya dan pergi ke arah jam enam, membuatku memutar posisi duduk untuk melihatnya. “Aku duluan. Tolong berikan dua dolarmu untukku karena aku mulai lebih awal. Sampai jumpa di pekarangan rumah nomor 32,” lanjutnya, sementara aku susah payah menjawab tanpa tawa.

“Ya, ya. Sampai jumpa. Dasar.”

Anak itu benar-benar pergi. Kutatap punggungnya dengan tidak habis pikir. Sebagai seorang lelaki tua-kesepian yang bekerja serabutan, beruntung sekali aku bisa bertemu dengan bocah itu. Mungkin usianya sama dengan Rachel, cucuku yang selalu kujumpai melalui foto. Mungkin juga usia ibu Adam sama seperti ibu Rachel, putri semata wayangku yang tinggal ribuan kilometer dari London bersama keluarga barunya.

______
© origyumi
20 Januari 2021


Tiap-Tiap Punggung | #tellmeyour2021Where stories live. Discover now