14. Kamu dan Es Krim Vanila

26 3 2
                                    

Woncheon-ri baru saja selesai dihujani salju semalam. Seluruh desa menjadi semakin putih dan dingin karena tamu tersebut. Di sebuah toserba yang merangkap kedai makan, Dong Hwa bersendawa selagi mengusap perutnya yang kenyang. Ramen udang dalam mangkuk sudah tandas dan hangatnya berhasil menaikkan suhu tubuh dengan baik.

Lonceng di pintu toko milik nenek Han itu kemudian berbunyi, menampilkan seorang perempuan dengan tubuh berbalut pakaian tebal khas musim dingin. Hanya setengah wajah bagian atas yang terlihat. Netranya sempat menyapu bagian kasir dan dapur yang menghadap ke pintu, tempat biasanya nenek Han bersiaga atau memasak di sana. Namun, hari ini tidak ada siapapun yang berdiri di dua tempat itu. Ia hanya menemukan Dong Hwa, cucu pemilik toko, yang kini menatapnya dari ekor mata sembari menyeruput air hangat dalam gelas kertas.

Annyeong,” sapa perempuan itu.

So Min, perempuan itu pun melenggang masuk dari daun pintu menuju chest freezer di sudut toko. Dibukanya pintu lemari tersebut dan ia pun langsung menarik keluar sebungkus es krim vanila kesukaannya dari sana.

“Apa! Es krim? Di musim salju?”

Itu pekikan Dong Hwa. Dari tempatnya duduk, kedua matanya membola. “Yang benar saja, Lee So Min!”

So Min tidak menghiraukan teriakan anak rantau yang baru kembali ke Woncheon-ri dua hari lalu tersebut. Merogoh saku jaket tebalnya yang berisi uang dan hot pack, ia keluarkan lembar won merah muda dan menyerahkannya pada Han Dong Hwa. “Nenek ke mana?” tanya So Min kemudian.

Dong Hwa tidak menjawab. Ia memperhatikan uang di tangan temannya itu. “Uang pas saja. Belum ada kembalian.”

“Tidak ada,” jawab So Min.

“Ya sudah, gratis.”

Jawaban itu tentu membuat So Min terkejut dan segera menurunkan syal yang menutupi mulutnya. “Mana bisa begitu! Kau mau buat nenekmu miskin?”

Ey, nenek tidak akan miskin hanya karena satu es krim ... vanila favoritmu? Nenek tidak akan miskin semudah itu, Nona Lee,” tambah Han muda setelah mencuri pandang untuk membaca keterangan pada bungkus es krim di tangan temannya. Melihat So Min yang masih menyodorkan uang dengan tatapan datar, ia pun meralat ucapannya. “Baiklah, baiklah! Aku yang traktir, So Min Cantik. Tidak pakai uang nenek. Masukkan kembali uangmu ke dalam saku.”

So Min pun menurut. Ia ambil tempat duduk di seberang Dong Hwa, kemudian membuka jaket tebal dan syalnya sehingga turtle neck-sweater warna abu-abu yang ia kenakan pun terlihat. Tangannya merobek bungkus es krim. Sebatang es krim putih di dalamnya membuat Dong Hwa langsung merinding hanya dengan membayangkan giginya menyentuh makanan tersebut.

“Nenek ke mana?” tanya So Min, menjilat es krim dengan santai.

Dong Hwa mencondongkan tubuh ke depan, mendekat pada meja yang memisahkan keduanya dan tampak serius. “Jawab pertanyaanku dulu,” katanya. “Ada masalah apa? Kau selalu makan es krim saat ada masalah.”

Es krim dalam mulut sudah hilang ketika So Min menjawab, “Tidak ada apa-apa.”

Antusias Dong Hwa mengendur setelah mendengar jawaban teman dekatnya. Ia daratkan punggungnya pada sandaran kursi kayu, lalu memutar-mutar sumpit dalam mangkuk melamin yang kosong. Terus seperti itu selama beberapa menit, sampai es krim vanila So Min tandas. “Mau kumasakkan sesuatu? Aku traktir lagi, khusus untukmu,” kata Dong Hwa.

“Tidak usah. Aku kenyang.”

Mobil pengeruk salju mulai terdengar dari kejauhan, tanda jika cuaca membaik dan berbagai aktivitas pedesaan akan kembali dimulai.

“Sudah lebih baik?”

Hari ini Dong Hwa banyak memperhatikan So Min. Lelaki berwajah kecil itu tahu jika perempuan di hadapannya berupaya menyembunyikan sesuatu.

“Ya,” jawab So Min, tersenyum hangat yang membuat Dong Hwa sedikit gugup. “Kukira aku akan makan es krim sendiri lagi seperti seminggu lalu, karena nenek sering terlihat lelah dan pamit untuk berbaring di kamar belakangan ini. Tapi, ternyata ada kau.”

Dong Hwa tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Ia tersenyum sampai kedua matanya menghilang. “Ada dua alasan mengapa aku kembali. Pertama, untuk membantu nenek. Ia benar-benar perlu istirahat,” ungkapnya, mengingat sang nenek yang saat ini masih tertidur nyenyak di kamar. “Kedua, untuk bertemu denganmu.”

Lelaki itu tertawa sendiri atas pernyataan keduanya yang menggelikan, sampai hampir jatuh dari kursi. So Min yang mendengarnya tampak sebal dan bergegas untuk pergi.

“Ya ampun, aku lupa harus ke kantor desa untuk mengurus sesuatu. Ibu kota membuatmu jadi jago gombal, eo? Dasar,” protes So Min yang berdiri seraya berkacak pinggang, merinding mendengar teman debatnya sejak kecil berkata seperti itu, sementara Dong Hwa melanjutkan tawanya yang renyah di musim dingin.

_____
17 September 2021
© origyumi

_____17 September 2021© origyumi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Han Dong Hwa, bukan bad boy.

Tiap-Tiap Punggung | #tellmeyour2021Where stories live. Discover now