2. Kotak Hitam yang Kesepian

32 5 4
                                    

Dari 739 detik yang kuhabiskan untuk merebahkan diri di sebuah kursi kayu panjang di depan sebuah rumah, belum pernah kutemukan orang sebodoh Disa. Saat itu cakrawala diselimuti rona kelabu dan aku sudah bersiap untuk mencari tempat teduh jikalau hujan akan benar-benar turun, ketika gadis berkacamata bulat-besar itu keluar dari pintu rumahnya dan berjalan lurus sampai ke depan pintu lainnya yang tertutup. Melihatnya buru-buru hanya untuk lima langkah yang tidak sampai satu menit, aku mengira-ngira hal apa yang membuatnya sedemikian heboh.

Bagian bawah dari atasan mukena ungu yang dikenakan gadis itu berkibar ketika dia berjalan cepat. Orang yang tidak teliti mungkin akan menganggap ada jemuran terbang yang melintas, karena memang secepat itu Disa berjalan.

Assalamu'alaikum, Mba Gita!” panggilnya begitu sampai setelah membuka pagar dan mengetuk pintu kayu cokelat dari rumah tetangga depan rumahnya. Tidak ada jawaban. Maka dari itu, Disa mulai mengabsen pemilik rumah satu per satu. “Mba Laras? Wira? Tante? Om? Ini Disa!”

Samar-samar terdengar sahutan cicak dari dalam rumah, membuat gadis itu kembali bersuara dan mengulang panggilan untuk mendapatkan respon yang diinginkan. Sayangnya, sampai pada panggilan ketiga, tidak ada sahutan apapun.

Air langit mulai turun. Kuputuskan untuk mendekati Disa dan naik ke atas sofa kayu tradisional yang berada di samping pintu masuk. Kedua tungkai gadis beralaskan sandal cokelat kebesaran milik sang ayah itu tidak berhenti melakukan jalan di tempat. Untung saja nasi kuning dan lauk pauk yang disusun dalam kotak makanan berwarna hitam di tangannya masih tertata rapi dan tampak menggiurkan. Indra penciumanku yang tajam dengan yakin mencium aroma ayam goreng dan ikan asin dari sana.

Pandangan kami berserobok dan seperti biasa, Disa memelototiku seolah aku adalah musuh bebuyutannya. Kuputuskan untuk mengabaikan tatapan itu dengan membersihkan rambut oranyeku yang cukup berdebu setelah berbaring di atas kursi panjang tadi. Tak lama, suara Disa pun terdengar kembali.

“Wir? Wira? Wir—adudududuh! Jangan ngompol, dong, Sa!”

Yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaan. Gadis itu kembali ke rumahnya dengan kecepatan kilat setelah kotak makan hitam di tangannya berpindah cepat ke atas meja bundar di hadapanku. Hujan turun deras tepat setelahnya, membuat seragam putih-biru Disa yang setengah hari ini hampir kering pun kembali basah. Sang ibu yang sejak tadi sibuk di dapur keluar dengan kerutan di atas hidung, membuat kedua alisnya hampir bertaut karena cukup lelah mengerjakan pekerjaan rumah yang sejak tadi ada-ada saja. Tangannya yang cekatan merebut cepat jemuran-jemurannya dari tiang bendera yang digantungkan dengan posisi horizontal di teras samping.

Dari tempatku, cipratan air hujan mulai memasuki sebagian teras yang tidak terlindungi pagar—si heboh Disa tidak sempat menutupnya lagi tadi, sedangkan aku tidak akan kuat melakukannya. Kotak hitam masih berada di depan mata, tampak kesepian selagi menunggu untuk disantap oleh penghuni rumah yang tidak juga keluar.

Sebenarnya, mereka pergi sejak tadi pagi. Disa saja yang tidak menyadari itu. Padahal, mobil keluarga ini tidak ada di teras.

“Hai,” sapaku dengan bahasa kucing sembari mendekat pada benda mati yang tutupnya berwarna transparan itu, mencoba membukanya dengan tangan-tangan kurusku. “Aku juga kesepian sepertimu dan, eum, ya, aku juga lapar. Jadi..., bolehkah aku—oh? Terbuka! TERBUKA!”

Sepasang mataku yang runcing spontan membola menyadari bahwa tutupnya mudah terbuka. Tanpa pikir panjang, aku segera menyantap ayam goreng dan juga ikan asin yang begitu menggoda sejak tadi. Rasanya, aku bisa menangis bahagia. Tidak akan kusia-siakan menu makan siang-bergizi-lezat-mewah yang semakin jarang kudapatkan sebagai kucing jalanan.

S-semoga saja ini bukan bunga tidur!

____
© origyumi
29 Januari 2021

Tiap-Tiap Punggung | #tellmeyour2021Where stories live. Discover now