3. No Longer

53 6 6
                                    

Ada dua hal yang sangat kuhindari setiap kali pulang sekolah. Namun sial, hari ini keduanya datang bersamaan.

Yang pertama adalah Suha, teman sekolah yang merangkap sebagai tetangga sebelah rumah dan juga sahabatku sejak kecil. Awal mulanya adalah kejadian sore ini, ketika ia berlari dari ujung gedung sekolah setelah memanggilku, kemudian mengatakan hal yang sangat tidak kuinginkan.

“Temani aku ke kafe sebentar, ya,” katanya begitu sampai dengan sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi kami. Peluh keringat mengalir dari ujung pelipisnya. Lengkung senyum manis yang tersampir di wajah lelaki jangkung itu ikut menghilangkan kedua matanya.

Suha tidak tahu kalau lidahku mendadak kelu saat mendengar kata kafe. Sebelum bisa menolak, ia sudah mengunci pergelangan tanganku dengan telapaknya yang dingin di musim panas—suatu anomali—dan memimpin langkah menuju kafe yang letaknya di seberang sekolah.

Degup jantung mulai memukuli dada tanpa ampun begitu mendapati air muka Suha tampak jauh lebih gugup daripada ketika ulangan Fisika dua hari lalu, memunculkan prasangka buruk dalam kepalaku. Langkah kaki yang cepat membuat bayangan di belakang kami pun tergesa-gesa, sementara aku terus berusaha menguatkan diri akan hal-hal yang mungkin terjadi berikutnya.

Pada saat tungkai kami menyentuh teras kafe di seberang sekolah dan lelaki bermata sipit di sampingku ini semakin sibuk mengatur napas seraya merapikan penampilannya, barulah aku menyadari bahwa dugaanku benar.

“Songhwa, kau tahu, kan, kalau aku menyukai Jinhee sejak lama? Hari ini aku akan menyatakan perasaan padanya,” tambahnya.

Musim panas yang lembap dan pengap semakin mencekat pernapasan. Kalau hal pertama yang paling kuhindari adalah Suha, maka hal keduanya yaitu kafe ini—tempat di mana seorang gadis sampul sekolah yang disukai Suha bekerja sebagai pegawai paruh waktu setiap pulang sekolah. Lagipula, mengapa lelaki harus mengajak teman perempuannya untuk menyatakan perasaan pada perempuan lain?

Rasa sesak yang melimpah membuat pelupuk mataku kian menghangat. “Song Suha,” panggilku dengan nada rendah yang mungkin terdengar bergetar setelah susah payah menelan ludah.

“Ya?” sahutnya sembari merapikan arloji di pergelangan tangan kirinya tanpa menoleh ke arahku.

Aku membencimu. Sungguh.”

Suha menoleh dengan kedua alisnya yang naik sebagai tanda kebingungan. “Ya? Kau bilang apa?” tanya si peringkat satu, kemudian menggaruk tengkuknya. “Bus yang barusan lewat meredam suaramu, he he.”

Aku menghela napas dan menggigit bibir. Dengan kedua telapak tangan yang sudah meremas erat tali ransel, kuputuskan untuk berbohong. “Aku lupa, belum membuat blog, untuk tugas besok,” ungkapku putus-putus.

Hmm?” tanya Suha. Entahlah ekspresinya seperti apa, sebab aku sibuk menatap ujung sepatuku. Tapi yang jelas, ada jeda cukup banyak sebelum lelaki itu melanjutkan ucapannya. Selain itu, kutemukan satu desahan sebelum ia bertanya, “Jadi, mau pulang duluan?” dengan lembut.

“Ya.”

Kupikir, Suha cukup pintar untuk menebak perasaanku. Namun, alih-alih memikirkan itu, ia malah membiarkan orang-bodoh-yang-menyukainya ini pergi. “Baiklah, aku tidak bisa memaksamu. Terima kasih, ya, sudah mengantarku ke sini. Hati-hati di jalan, Nona Min. Nanti malam kukabari.”

Apanya yang peringkat satu? Ia bodoh dan tidak peka.

Aku mendongak, memaksakan senyum terhambar yang kumiliki. Saat itu, binar di mata Suha begitu lembut seperti biasanya, membuat bibirku semakin kelu dan kering di saat bersamaan.

****

Uri Songhwa, kau yakin tidak mau katsu keju?”

Kepala Songmin oppa muncul dari daun pintu. Tidak perlu izin, sulung itu langsung melangkah masuk dan duduk di atas kasurku dengan sedikit melompat.

“Habiskan saja. Aku mau tidur,” jawabku seraya menaikkan selimut dan memejamkan mata. Suara pendingin ruangan memenuhi rungu kami berdua.

“Kau aneh.” Kakak menggeleng tidak percaya, lantas segera memeriksa suhu keningku dengan menempelkan telapak tangannya. “Huh? Tidak panas.”

Tangannya yang besar kemudian sengaja menutupi seluruh wajahku. Namun, alih-alih mengomel seperti biasanya, aku malah menahan tangan itu dengan menggenggamnya erat. Bersamaan dengan helaan napas berat, bendungan di kedua pelupuk mata yang telah kutahan dengan susah payah pun pecah.

Songmin oppa tidak langsung bereaksi. Ia biarkan tangannya kujadikan lap air mata selama sebelas detik, sebelum akhirnya bangkit dan berkata, “Oke. Kau jorok kalau lapar,” kata si sulung langsung mengelap tangannya yang basah pada seprai kasurku. “Aku bawa kemari, ya, makanannya. Kita makan bersama, lalu ceritakan semuanya dari awal. Tidak ada penolakan. Kunci kamarmu kubawa, jadi kau tidak punya alasan untuk menghindar. Sampai jumpa satu menit lagi!”

_____
© origyumi
Kyuhyun's Day, 2021

Terinspirasi dari lagu NCT 127 - No Longer

Tiap-Tiap Punggung | #tellmeyour2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang