7. Khadijah atau Fatimah

32 5 9
                                    

Deru motor matik menghiasi Sabtu pagi yang cerah. Si pemilik sengaja memanaskan mesinnya sebelum berangkat melintasi kota. Sembari menunggu, ia tinggalkan motor berstandar dua di pelataran rumahnya tersebut, kemudian melangkahkan kaki ke rumah lain di arah jam dua belas.

Assalamu'alaikum!”

Pintu masih tertutup ketika Wira—si pemilik motor—sampai. Digulirkan layar ponsel selagi menunggu tuan rumah membukakan pintu. Masih mengembangkan senyum, pria berkaus putih dengan celana jogger hitam itu bersandar pada dinding rumah, menekuk kaki kiri ke arah dinding, dan memasukkan satu tangannya ke dalam kantung celana.

Assalamu'alaikum!” panggilnya untuk kedua kali di depan pintu rumah yang sama.

Tak lama, bunyi klik pintu terdengar dan saat itu juga sebuah kepala yang dibalut selimut polkadot muncul dari sela pintu yang terbuka.

“Tunggu sebentar, ya, Wir. Gue belum pake kerudung, he he. Dodo juga mendadak mules. Bentarrr aja. Oke?” pinta si pemilik rumah.

Wira terkekeh melihat wanita itu. “Iya, Disa Uculll. Gue tunggu, kok. Makanannya udah siap, kan?”

“Udah, kok. Udah nyampe di sana katanya,” jawab wanita bernama Disa tersebut tanpa protes dengan panggilan baru Wira, kemudian menunjuk kursi di terasnya yang terbuat dari anyaman bambu. “Lo duduk dulu aja, daripada pegel.”

“Siip, deh.”

Jadi, Wira mengikuti saran Disa. Tak lupa ia matikan mesin motor yang sudah siap digunakan sebelum akhirnya duduk di kursi tersebut. Pria itu mendongak sehingga lekum lehernya semakin terlihat, membuat netra mendapati langit biru yang dihiasi beberapa gumpalan awan putih bercorak acak.

Hari yang baik.

“Yo, Mas Wira, yo! Aku udah kelar, nih!”

Suara heboh mengalihkan pandangan pria dua puluh satu tahun tersebut. Ada Dodo—saudara bungsu Disa, dengan kaus putih pendek yang dibalut baju kodok warna navy—berdiri di depan pintu.

“Oke. Kuy, langsung cus mabar—makan bareng! Gue laper,” jawab Wira dan langsung mendapat tatapan tajam dari Dodo. “Canda laper. Gue nggak serakus itu, ya!”

Mereka berdua pun mulai berbincang random sembari menunggu Disa. Mulai dari bahasan tentang video terbaru dari channel YouTube favorit mereka, masalah tugas sekolah dan kuliah, tetangga baru di ujung gang, kuliner baru di pinggir jalan, keponakan Wira yang muntah di bajunya, sampai yang paling serius ... tentang Disa.

“Kira-kira kakak lo suka sama gue, nggak, Do?”

“Halah, nanya itu mulu. Tanya teteh aja, deh!”

“Tapi, dia tau nggak kalo gue suka sama d—”

“Kuy!”

Suara lain memotong keduanya. Ada Disa yang sudah siap dengan pashmina hitam menutupi rambut dan dada, kaus putih panjang yang sisi bawahnya dibiarkan keluar, serta celana kulot hitam. Make up sederhana menempel tipis di wajah. “Ngeghibahin siapa sampe bisik-bisik?” tanyanya menyipitkan kedua mata.

Wira mendadak gagap, sementara Dodo menjawab santai. “Teteh.”

Ingin rasanya Wira menoyor bocah itu.

“Udah siang, nih. Katanya mau makan bareng anak panti. Bukannya siap-siap ngeluarin motor, malah ngomongin kakak sendiri,” omel Disa pada sang adik yang menjawab dengan ha ha-he he dan langsung melenggang masuk untuk mengeluarkan motor. Pandangannya tidak sengaja berserobok dengan pasang mata cokelat tua milik Wira. Menghindar, ia pun beralih pada penampilan sahabatnya.

Selain kaus putih yang telah disepakati sebagai dresscode mereka bertiga saat berdiskusi di grup chat, rupanya pria itu benar-benar mengikutinya untuk mengenakan bawahan berwarna hitam. Kalau disinggung, pasti Wira akan beralasan,

Jangan ge-er! Ini emang celana favorit gue!”

atau kalau jahilnya kumat, pria itu akan menjawab, “Iya, dong, Mate.”

Disa khawatir pipinya akan semerah tomat jika mendapat jawaban seperti itu. Jadi, alih-alih berterus-terang seperti bunda Khadijah kepada Rasulullah, ia memilih untuk menyimpan perasaannya seperti yang dilakukan Fatimah Az-Zahra kepada Ali bin Abi Thalib dan berusaha agar Wira tidak mengetahuinya.

“Yuk, Teteh, Akang. Kita meluncur! Udah siap, nih.”

Dodo menyelamatkannya dengan keluar menaiki motor dan mengenakan helm. Motor itu pun turun ke jalan kompleks dan segera dinyalakan. Wira juga bersiap dengan motornya, sementara Disa memastikan rumah aman sebelum ditinggal pergi. Sulung tersebut segera duduk di belakang Dodo setelah mengunci pagar.

Wira? Ya sendiri, dong. Dia, kan, jomlo.

_____

© origyumi

19 Juli 2021

Halo, pakabsss? Adakah yang masih baca buku ini?

Tiap-Tiap Punggung | #tellmeyour2021Where stories live. Discover now