9. Drama Tiga Kali Seminggu

34 4 11
                                    

“Sayangku? Kok kamu nggak ada? Ay? Say—ADUH!”

Wira mengusap-usap lengan kanannya yang baru saja terkena kamus saku Oxford. Kamus itu memang kecil, tetapi tenaga pelaku yang memegang buku itu cukup untuk membuat Wira yang baru selesai melaksanakan ujian semester meringis dan terkejut, tentu saja.

Siapa, sih, yang nggak kaget kalau tertangkap basah saat sedang mencari pacar rahasia?

“Bangun, Wir. Udah sore.”

Adalah Disa, pelaku yang memergoki jomlo ngenes alias Wira bermonolog di hadapan baris-baris mi instan. Tidak disangka pertemuannya dengan sang sahabat sepulang dari kampus di minimarket malah seperti ini. Netranya menatap lelaki itu dengan tajam, seolah ada aliran listrik yang siap menghanguskan lawan bicaranya seperti di film-film.

“Ampun, Sa. He he. Biasa aja, dong, tatapannya. Gue bisa gosong nanti,” jawab Wira. Beruntung, rasa sakit di lengannya ternyata hanya bertahan sebentar.

Disa beralih menatap deretan mi instan yang kini juga berada di hadapannya. Puluhan bungkus yang beragam rasa itu pun membuatnya menelan ludah. “Pacar lo yang mana?”

“Yang goreng ori. Nggak ada, Sa. Tumben. Biasanya dia manggil gue duluan.”

“Berarti lo telat, Wir. Udah diambil orang, tuh. Cari yang lain aja.”

Meraih dua buah bungkus mi kuah ayam bawang yang sejajar dengan wajah Wira dan memasukkannya ke dalam keranjang kosong di tangan, Disa yang sempat protes pada si Sableng-jones karena terlampau halu kini malah bergabung dengan topik tersebut, lalu pergi dari sana untuk mencari barang lain yang sudah ia catat di daftar belanja. Beruntung minimarket dekat rumah sedang cukup ramai saat itu, jadi pembicaraan aneh mereka bisa teredam.

Wira mengulum senyum paksa. Bola matanya kemudian bergerak gesit ke arah kandidat-kandidat pacar selanjutnya. Dalam hitungan detik, ia pun memilih mi goreng rasa ayam geprek, lalu menyusul Disa untuk menitipkan barangnya.

“Sini. Gue bawain aja keranjangnya,” tawar Wira.

“Nggah usah, Wir. Gue nggak enak. Barang lo cuma dua, punya gue bakal banyak soalnya sekalian belanja bulan—ya udah kalo maksa.” Belum sempat menyelesaikan basa-basi, Wira sudah merebut keranjang tersebut. “He he. Thanks a lot.”

Jadilah Wira membuntuti sahabatnya bergerak menyusuri tiap rak di minimarket dekat rumah. Sesekali terlampau cerewet karena mewawancarai Disa tentang perbedaan skin care, ia pun akhirnya diam seribu bahasa karena diomeli.

“Gue sebel banget, Sa.” Tidak kapok. Kali ini, lelaki itu malah curhat.

Hm,” jawab Disa, membagi fokus dengan memilah sabun cuci rambut baru yang kira-kira cocok untuk Dodo. Rambut sang adik belakangan sering rontok, membuat Disa kesal sendiri karena membayangkan rambut adiknya akan botak licin seperti kelereng.

“Lo tau Bobi, kan? Ketua kelas gue yang kayaknya suka sama lo. Setiap tiga kali seminggu, tuh, dia pasti ngajakin ngerokok. Terus maksa-maksa gitu. Omongannya luar biasa kasar plus kotor. Di luar image yang selama ini orang-orang tau, lah, pokoknya. Dia sama gengnya sampe ngata-ngatain gue cupu. Padahal, kan emang cupu—eh maksudnya, nggak cupu, lah! Ya kali. Gue keren, kan?”

Hm.”

“Untungnya, gue selalu punya alasan buat menghindar. Tau nggak alasan gue menghindar dari mereka apa?”

Hm.”

“Gue bilang ke mereka, lo nggak suka cowok ngerokok. Terus gue langsung kabur. Ha ha!”

“Kok gue! Nggak nyambung!” Disa melotot dan terkejut. Untung saja kamus tadi sudah masuk ke dalam tas ranselnya. Karena kalau tidak, lengan Wira akan jadi sasaran empuk lagi. Ia tidak suka namanya dibawa-bawa seenak jidat seperti itu.

“Maaf. Jangan galak-galak, dong, Teh. Kalo nggak gitu dia bakal terus rese! Dan gue rasa..., Bobi beneran suka sama lo.”

“Oh.” Begitu saja respon Disa, membuat Wira melongo. “Ya udah, ayo ke kasir. Gue udah beres, nih.”

Mereka berdua pun berjalan ke kasir. Wira lebih dulu sampai dan mengangkat keranjang belanja ke atas meja. Setelah mengeluarkan uang pas untuk membayar mi instan pada Disa, ia pun menunggu di luar dan tak lama kemudian melihat sahabatnya di luar pintu sambil melakukan panggilan video dengan sang ibu yang kini ikut merantau demi menemani sang ayah.

Tanpa Disa sadari, lelaki itu mengambil alih tas belanja yang cukup berat dan memilih berjalan sedikit lebih dulu. “Ayo sayang, kita pulang,” ucap Wira bermonolog pada mi instan dalam tas tersebut, sambil tersenyum senang.

____
18 Agustus 2021
© origyumi

Wira suka mi instan. Bukan rokok, bukan Disa. Titik.
Wira: “hEH!”

Tiap-Tiap Punggung | #tellmeyour2021Where stories live. Discover now