16. Pemberi Kabar Musim Semi

34 2 5
                                    

“Remed lagi?”

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Remed lagi?”

Disa menoleh ke kanan begitu sebuah tanya terdengar dan ada sensasi dingin menyentuh pipi kanannya. Ada Wira, si pemilik suara yang membawa dua teh kotak dingin dan kini melipat kaki untuk duduk di hadapan sahabatnya tersebut. Tepi lapangan di jam istirahat mencetak bayangan teduh pohon rindang. Senyum simpul ditampilkan lelaki itu pada manusia ajaib berseragam olahraga yang tampak putus asa di depannya.

Yeu. Udah tau nanya.” Yang menjawab adalah Disti, seorang teman sekelas yang menemani Disa di sampingnya sambil menyalin catatan Biologi.

Pertama-tama, Wira merespon dengan senyum unjuk gigi. “Temen lo kayak anak ilang, tau nggak?” ledeknya kemudian dan beralih pada Disa yang lesu. “Kalian nggak ganti baju? Yang lain udah pada ganti.”

“Hai, Wir. Nanti, deh. Habis ini ada jam kosong, kan, jadi ada waktu cukup senggang.” Disa meminta dua teh kotak di tangan Wira untuk ditempelkan ke kedua pipi. Sensasi dingin yang kembali menyapa membuat perempuan itu menghela napas dan memejamkan mata. “Kapan, ya, nilai olahraga gue bisa bagus? Masukkin bola ke ring aja nggak bisa, padahal dikasih waktu semenit.”

Hmm, next time, mungkin?” jawab Wira sekenanya.

Gesek dedaunan terdengar seiring dengan embusan angin pukul sepuluh lewat. Bayang kelabunya yang tercetak di tepi lapangan bergerak cantik menyerupai objek asli di belakang tiga pelajar menengah atas itu. Beberapa teman sekelas tampak menghabiskan waktu istirahat dengan berbincang seru di jarak dua meter. Masih menempelkan teh kotak, Disa lantas mencondongkan puncak kepalanya ke arah lelaki tersebut. “Nggak mau tau. Transfer kekuatan dan keahlian olahraga lo, dong! Lo, kan, murid kebanggaannya Pak Dudung!”

“Eh, nggak bisa, Sa. Gue maunya transfer cin—iya maap! Canda.” Niat hati ingin menggombal, lelaki berseragam batik itu malah mendapatkan tatapan tajam dari sasaran gombalnya. “Ya udah, lah. Apa salahnya remed? Bukan hal yang bikin negara malu, kok.”

“Begini terus, nggak apa-apa? Tadi itu penilaian UTS, loh, Kasep. Harusnya bagus,” jawab gadis keturunan Sunda itu selagi meneliti gaya rambut Wira yang agak aneh hari ini. “Kok rambut lo berantakan, Wir?” tanyanya kemudian, lalu menyerahkan sekotak teh untuk sang sahabat dan sekotak lagi untuk Disti. Omong-omong, gadis di sebelahnya itu tampak fokus sekali dengan pena dan buku di atas lapangan.

Wira menghela napas seraya menolak teh yang memang sengaja ia beli untuk Disa. “Lo udah berusaha, itu udah bagus, Sa. Tinggal nanti di remedial dan seterusnya harus lebih semangat lagi. Kalo mau, kita bisa latihan basket bareng, kok. Ajak adek lo juga, deh, biar rame,” responnya tanpa menanggapi pertanyaan kedua. Pada detik itu satu daun kering jatuh di puncak kepala Disa dan bukannya dibersihkan, lelaki tersebut malah semangat menambahnya dengan dedaunan lain di dekat sana.

Korban kejahilan yang sadar pun segera menunduk dan menggelengkan kepala, membuat lembar-lembar kering gugur untuk kedua kalinya. “Lo, tuh, baik. Tapi, jahil juga. Gue jadi bingung mau berterima kasih atau kesel,” aku Disa usai menghela napas, cukup terbantu dengan ucapan Wira. Tanpa mengalihkan pandangan dari rambut aneh sosok di hadapannya, ia lantas berseru seraya menunjuk puncak kepala lelaki tersebut, “Ih, rambut lo panjang-pendeknya nggak sama! Kena razia?”

Wira tersenyum geli. “Tuh. Kelamaan ngelamun di lapangan, sampai nggak ngeh cowok-cowok heboh kabur dari razia?”

“Loh, yang bener? Gue nggak tau,” jawab Disa apa adanya dengan raut bingung dan menoleh cepat ke sekelilingnya.

“Ya gitu. Udah, jangan dibahas! Gue merinding, nih. Tadi hampir aja mau dibotakin.”

Lesung pipit di atas pipi Disa mulai terlihat seiring dengan kedua sudut bibirnya yang terangkat. Membayangkan Wira jadi botak malah membuatnya tertawa saat itu juga. Tak lama, gadis itu membungkuk karena lelah tertawa sampai hampir menangis. Permukaan lapangan yang hangat karena cuaca pun menyentuh telapak tangannya. “Jadhi kebhayang Sinchan, Whir. Adhuh, capek ketawa, huhu.”

Melihat Disa tertawa lepas merupakan kejadian langka. Gadis itu lebih sering jutek dan galak, meski sebenarnya perhatian. Jadi, alih-alih protes, Wira terima saja dan malah ikut tersenyum melihat hilangnya kesedihan sang sahabat mengenai nilai olahraga hari ini.

“Udah baikan, kan? Sana ke kelas. Jangan kayak anak ilang gini,” kata Wira dan bangun dari tempatnya. “Gue mau ke kantin dulu. Batagor? Oke.”

Wira pergi dengan menjawab pertanyaannya sendiri. Kalau Tangerang punya empat musim, saat ini musim semi pasti telah tiba dan kalau boleh diumumkan keras-keras, bukan hanya lapangan yang hangat, perasaan keduanya pun demikian.

_____
28 September 2021
© origyumi

As recommended by my friend, I chose her as Disa's visualization (for now)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

As recommended by my friend, I chose her as Disa's visualization (for now). 😊

Di sekolah, kalian paling sering remed di pelajaran apa?

Tiap-Tiap Punggung | #tellmeyour2021Where stories live. Discover now