21. Selesai Kelas

13 2 2
                                    

“Sa, boleh minta waktunya sebentar?”

Disa baru saja menyampirkan tas ke bahu begitu Bobi tiba-tiba ada di kelasnya dan memanggil. Rencana untuk pulang cepat harus tertunda karena Presiden Mahasiswa tersebut. Satu per satu teman sekelas yang beranjak pergi dari kelas membuat Disa iri.

“Kenapa?” tanya perempuan itu. Ia harus mendongak guna menatap wajah sang lawan bicara.

Bobi tampak ragu. Ia tatap manik cantik perempuan berkaus putih dengan outer kemeja hitam lengan panjang di hadapannya. Degup jantung yang berpacu cepat sedikit membuat telapak tangannya berkeringat. “Sore ini ... mau makan berdua sama gue, enggak?” tanya lelaki tersebut. Senyum canggung memperlihatkan lesung di pipi kanannya.

Dua alis Disa terangkat. Perempuan dengan lip cream nude itu menunjuk dirinya sendiri. “Gue?”

Bobi tertawa ringan. Respon polos Disa membuatnya gemas. “Ya iya, lah. Enggak ada orang lagi selain kita. Masa gue ngomong ke diri sendiri,” jawab lelaki itu.

“Oh,” respon Disa. Padahal ia jelas tahu kepada siapa Bobi meluncurkan pertanyaan tersebut.

“Jadi, gimana?”

Disa sebenarnya sudah punya jawaban sejak awal. Namun, ia memikirkan cara supaya lelaki berkacamata di hadapannya tidak tersinggung. “Hmm ... sorry, unfortunately I can't. Ada janji lain, Bob. Ini juga gue buru-buru. Maaf, ya—”

“Kalo besok?”

Tangan kekar Bobi meraih lengan Disa, mencegah perempuan itu pergi dari dalam kelas. Ia beri satu pertanyaan lagi pada sang pujaan hati.

Disa berupaya menarik lengannya dari genggaman lelaki itu. Namun, entah kenapa genggamannya kuat sekali. “Bob? Lepasin dulu.”

Ia tidak suka diperlakukan seperti itu.

“Jawab dulu.”

Dengan sikap Bobi yang memaksa, sudah jelas Disa akan menolak. “Enggak bisa. Tolong lepasin tangan gue.”

“Bisanya kapan?”

Hidung Disa memerah. Ia marah dan takut di satu waktu. “Bob? Kalo ini soal pernyataan tempo hari, gue udah jelas bilang jawabannya ke lo. Jadi, please, jangan ganggu gue.”

“Kenapa lo enggak suka gue?” tanya Bobi. Pegangannya mengendur, tetapi belum terlepas dari lengan Disa. Ia melangkah maju dan menyudutkan perempuan itu pada papan tulis yang telah dibersihkan sejak tadi.

Disa menahan napas. Ia pejamkan mata sebelum menatap dan menjawab dengan tegas. “Karena sikap lo.”

BUK!

Pada saat itu, sebuah bola kaki menabrak pintu kaca kelas. Untung saja tidak sampai pecah. Si penendang muncul tak lama kemudian dengan ekspresi menyesal, menerobos masuk dan meminta maaf kepada dua insan di sana.

“Waduh, waduh! Maaf, ya. Gue nendangnya terlalu kencang. Maaf, maaf. Ganggu, ya?”

Bobi melepaskan pegangan pada lengan perempuan di hadapannya. Ia melangkah mundur. Telinganya memerah karena kesal.

Tanpa buang-buang waktu, Disa melangkah pergi. Ia pegang kain lengan dari jaket himpunan yang dikenakan pria penendang bola tadi, lalu mengajaknya keluar tanpa kata-kata, meninggalkan Bobi yang agaknya tidak bisa berbuat apa-apa.

“Tunggu, tunggu. Jangan ngebut-ngebut. Lo kebelet BAB?” tanya lelaki penendang bola ketika mereka sudah cukup jauh dari kelas. Ia perhatikan tangan sang sahabat yang tampak bergetar selagi mencubit kain jaketnya. Helaan napas pun keluar dari hidung lelaki tersebut.

Disa berupaya menahan tangis yang hampir pecah. Di samping pohon mangga yang cukup besar, langkahnya terhenti. Meski terlihat tegas, ia sendiri sebenarnya ketakutan menghadapi situasi tadi.

“Makasih, ya, Wir ...,” katanya pelan. Ia mengusap wajah, mencoba menenangkan pikiran dan menormalkan degup jantung.

Wira, si penendang bola, melepas jaket sehingga kaus hitam lengan pendeknya terlihat. Ia mengangguk meski Disa tidak memperhatikan. Lelaki itu kemudian melempar jaketnya untuk menutupi kepala Disa. “Nangis aja, jangan ditahan.”

Tak butuh waktu lama, isak tangis pun terdengar. Di balik jaket yang menutupi hampir seluruh wajah, Disa menangis sembari terus berjalan menuju angkot yang telah menunggu di depan gerbang kampus.

Sementara itu, Wira berdiri di sampingnya sambil memperhatikan sekitar. Sembari mengapit bola di ketiak kiri, lelaki itu menghela napas lega. Meski sedikit terlambat, ia beruntung karena masih bisa menemukan Disa. Disa pun beruntung karena Wira datang.

“Beli bukunya besok-besok aja, ya. Kita langsung pulang aja,” kata Wira dengan tenang begitu sampai di angkot. Ia memilih untuk tidak bertanya apa-apa soal kejadian tadi sampai perempuan itu bersedia menceritakannya sendiri. Mereka duduk bersisian dengan Disa berada tepat di belakang sopir. “Lo mau makan apa? Gue traktir, deh.”

“Bakso—dua bungkus,” jawab Disa sesenggukan sambil sesekali membuang ingus dengan tisu yang diambil dari dalam tas.

Beberapa penumpang menatap perempuan itu dengan tanda tanya. Sebagai juru bicara jadi-jadian, Wira berkata, “Lagi ingusan plus galauin Drama Korea. Maaf, ya.”

____
8 April 2022
© origyumi

Tiap-Tiap Punggung | #tellmeyour2021Where stories live. Discover now