8. Kepik di Ujung Daun

28 5 14
                                    

Angin pagi bercampur dengan aroma hujan memenuhi seisi kamar, masuk melalui lubang ventilasi dan juga jendela yang terbuka. Suasana sejuk menembus segar ke dalam rongga hidung, menenangkan tiap insan yang menyadarinya. Helai gorden berayun mengikuti. Selembar gambar yang plastik laminatingnya telah menguning pun bergoyang ke kanan-kiri di dinding putih, menyeruakkan kenangan belasan tahun lalu yang hampir hilang.

 Selembar gambar yang plastik laminatingnya telah menguning pun bergoyang ke kanan-kiri di dinding putih, menyeruakkan kenangan belasan tahun lalu yang hampir hilang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hari itu, sembab menghiasi wajah Disa kecil berumur lima tahun. Sembari menggenggam erat telapak tangan kakak lelaki di sebelahnya, ia amati seragam TK-nya yang kotor di bagian bawah akibat tersandung beberapa menit lalu. Bagian putih itu kini terkena noda berwarna cokelat yang cukup jelas.

“Nanti mamah marah, nggak, ya?” tanya Disa dengan bibir mengerucut dan ujung kedua alis yang turun.

“Hmm, marah kenapa?” Kakak lelaki di sampingnya menunduk dan bertanya balik.

“Rok barunya kotor,” jawab Disa.

Ishan namanya. Kakak lelaki berseragam putih-merah di samping Disa itu mengayunkan genggaman tangan mereka sebelum akhirnya menjawab, “Nggak, dong. Kan kamu nggak sengaja, Sa. Tadi aja mas Ishan nggak marah sama kamu, kan?”

Disa menggeleng pelan sambil mengingat-ingat lagi. “Mas Ishan langsung lari waktu liat aku nangis, terus ngusap air mata aku, bersihin lutut sama tangan aku pakai air botol, lalu beli plester ke warung. Mas Ishan nggak marah. Aku juga dikasih kertas buat mewarnai gambar.”

“Nah, iya. Mamah Disa juga nggak bakal marah, kok. Jangan takut, ya.”

Uhum. Oke.”

“Lain kali ... kamu harus lebih hati-hati kalau jalan. Biar nggak jatuh lagi dan banyak plester kodoknya.”

Disa melihat telapak tangan dan lutut kirinya yang ditempeli plester bergambar kodok. Meski luka dibaliknya masih perih, plester itu cukup efektif menghentikan tangis Disa beberapa menit yang lalu. “Kodoknya lucu.”

Tawa kecil terdengar dari mulut Ishan yang terpaut dua tahun lebih tua. Alih-alih kodok, baginya Disa jauh lebih lucu dan menggemaskan. Tangan kanannya bergerak merapikan anak rambut gadis kecil di sampingnya yang terlepas dari kepangan, memberi ruang bagi angin pagi untuk mengusir keringat di kening Disa.

“Makasih, Mas Ishan. Ini tadi apa? Keripik?”

Tawa Ishan semakin lepas mendengarnya. “Kepik, Sa. Kepik, bukan keripik.” Ia menghentikan langkah, kemudian menunjuk gambar di kertas yang Disa pegang. “Kepik di ujung daun. Nanti Disa warnai kepiknya pakai warna merah sama hitam. Hitam buat yang bulat-bulat ini, sama kepalanya. Kalau daunnya warna—”

“Hijau, kan?”

“Betuuul! Pintar banget adik mas!” Kedua jempol diacungkan Ishan untuk Disa, membuat gadis kecil itu tersenyum lebar.

“Oke! Nanti kalau udah selesai, aku kasih tau mas Ishan. Lalu, nanti gambarnya mau aku tempel di kamar.”

“Siap, Cantik!” seru Ishan. “Sekarang, yuk, kita jalan lagi. Biar cepat sampai rumah.”

Keduanya pun kembali menempuh perjalanan yang hanya tinggal beberapa meter menuju rumah. Jarak taman kanak-kanak Disa terbilang cukup dekat dengan rumah, jadi itu sebabnya Disa dilatih untuk berangkat dan pulang sendiri sementara sang ibu mengurusi adiknya yang masih bayi. Jarak sekolah Ishan lebih jauh lagi, namun memang harus melewati sekolah Disa setiap harinya. Jadi, tidak heran jika terkadang saat sekolah pulang cepat, Ishan bisa berpapasan dan pulang bersama gadis kecil itu.

“Sampai! Assalamu'alaikum, Mamah Cantik!”

Keduanya sampai di rumah Disa. Pintu yang terbuka membuat gadis kecil itu melenggang masuk dan langsung menyerbu ke dalam pelukan sang ibu yang tengah melipat pakaian dan menjawab salam. Adik bayinya tampak tertidur di kamar.

Eleuh, eleuh. Kenapa ini anak mamah hidung sama matanya merah, tapi senyum-senyum? Ini juga, banyak plester?” tanya sang ibu, membuat Disa mengerucutkan bibir.

“Aku kesandung tadi, terus jatuh. Terus ketemu sama mas Ishan. Terus dibeliin plester. Terus dikasih gambar buat mewarnai. Nanti gambarnya mau aku tempel di kamar, ya, Mah?”

Sang ibu yang ikut mengerucutkan bibir dan tampak khawatir sontak tersenyum mendengar penjelasan putri sulungnya. Ia melirik Ishan dan tersenyum padanya, membuat yang dilirik malu dan tersenyum canggung.

“Makasih, ya, Mas,” kata ibu Disa. “Kok kamu pulang pagi? Gurunya rapat?”

“Sama-sama, Tante,” kata Ishan tanpa menjawab pertanyaan, lalu pamit. “Ishan pulang dulu, ya. Dah, Disa! Mas pulang dulu, ya.”

Setelah saling melambaikan tangan, Ishan pun keluar dari rumah itu dan berjalan lurus ke arah rumah di seberang milik Disa, rumah keluarganya.

.
.
.

Ishan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ishan

_____
© origyumi
14 Agustus 2021

Tiap-Tiap Punggung | #tellmeyour2021Where stories live. Discover now