10. Pasir dalam Sepatu

19 3 0
                                    

Banyak pasir dalam sepatuku. Mengisi penuh rongga di dalamnya dan menghambat kedua kakiku untuk masuk. Pasirnya basah, namun sepatuku tidak. Air seni kucing tidak akan sebanyak ini, pun air langit juga sudah tidak jatuh sejak Juni.

“Kamu, ya, pelakunya?”

Aku menunjuk bulan yang nyaris hilang karena mentari sudah semakin tinggi. Tetapi, bulan, kan, tidak punya tangan untuk usil menuangkan pasir ke sepatuku dan tidak mungkin juga mengguyur air ke atasnya! Bulan ... tidak bisa menangis, kan?

“Apakah tangisanku?”

Sambil berpikir, aku membalikkan kedua sepatuku, sedikit menepuknya agar pasir basah itu lekas jatuh. Setengah pasir jatuh ke teras rumah. Kalau pasir punya rasa makanan seperti balado, jagung bakar, atau lainnya, sudah pasti akan kujadikan bumbu pelengkap camilan. Sayangnya, pasirku terasa pahit.

Saat sepatuku hampir bersih dari bubuk-bumbu-pahit-kasar, seseorang melintas di luar pagar rumah. Langkahnya terhenti begitu pandang matanya menangkap sepatuku. “Ada apa?” tanyaku.

“Bagaimana bisa sepatu kamu begitu bagus?” Pertanyaan paling membingungkan kuterima sebelum jarum jam menunjuk pukul tujuh pagi. Sarkas?

Aku mengernyitkan kening dan memaksa tawa bersuara sumbang. “Jangan meledek.”

“Aku serius. Lihat sepatuku! Jelek.” Nona itu menunjuk sepatunya, membuatku harus memeriksa dari sela pagar.

Demi sup sarang burung walet, sepatunya bagus dan mengilap!

“Mau bertukar sepatu?” Pertanyaan tersebut terlontar secara otomatis dari mulutku. Meski mengira akan ditolak, rupanya ia setuju dan pertukaran pun berlangsung hanya dalam hitungan detik.

Aku tersenyum, nona itu pun begitu. Masing-masing kaki kami bersemangat untuk mencoba sepatu baru yang tampak memesona. Kaki kanan diangkat, diturunkan. Kaki kiri diangkat, lalu diturunkan. Kedua kaki yang terburu-buru sudah masuk ke dalam sepatu baru. Namun ternyata, angin membawa pergi harapanku.

Sepatu ini ... berukuran lebih besar dan penuh dengan kerikil—tidak lebih baik dari milikku.

Begitu mendongak untuk melihat respon si nona, aku menemukannya sudah bertelanjang kaki dan mengangkat sepatuku. “Terlalu kecil dan berpasir,” ungkapnya murung.

Kami pun mengulang adegan sebelumnya—bertukar sepatu, kemudian memasukkan kedua kaki kami ke dalam sepatu masing-masing. Senyum kami yang telah luntur dan jatuh ke lantai perlahan kembali naik.

Huft.

Rupanya, begini jauh lebih baik.

_____
22 Agustus 2021
© origyumi,
terjaga setelah tengah malam tadi dua kucing ribut di jalanan.

Tiap-Tiap Punggung | #tellmeyour2021Where stories live. Discover now