17. Earphone

12 2 2
                                    

Kereta baru saja meninggalkan stasiun. Lajunya pun semakin cepat hingga membuat potret deretan pohon di luar jendela menjadi kabur seperti lukisan abstrak. Semua pegangan yang menggantung di langit-langit kereta habis terisi oleh genggaman tangan para penumpang yang tidak mendapatkan tempat duduk—mungkin kalah cepat dari yang lain atau memang mengalah untuk mereka yang lebih membutuhkan, aku tidak tahu pasti. Yang jelas, kereta ini sumpek sekali!

Karena masih pagi, bau keringat mampu ditutupi oleh berbagai aroma parfum yang bercampur jadi satu di udara. Jangan kamu kira aromanya enak dicium. Isi perutku justru bergejolak karena aroma aneh nan menyengat akibat kolaborasi dari wewangian ini. Lebih buruk dari mobil dengan aroma parfum jeruk, gile!

Tujuanku masih sekitar sepuluh menit lagi, harus lewati satu stasiun untuk sampai di Stasiun Kalideres. Selama itu, kuputuskan untuk mendengar radio lewat penyuara telinga berwarna hitam yang sebelumnya berada dalam kantung celana kulot abu-abu panjangku. Kabel ini sekarang tersambung pada ponsel di kantung jaket jeans yang kukenakan. Menyamarkan gemuruh obrolan penumpang dalam kereta, berita prakiraan cuaca pun menyapa runguku.

Katanya, cuaca akan cerah dan suhunya akan lebih tinggi dari kemarin. Waduh. Kalau sampai menyentuh angka 37° celsius, sih, lebih baik aku masuk ke dalam kulkas saja. Namun, mari kita lihat apakah mbak penyiar benar atau tidak. Sebab angin nampaknya memulai anomali dengan mengumpulkan awan di langit musim kemarau.

“Permisi?”

Telingaku disusupi suara seseorang saat hampir sampai di stasiun berikutnya. Aku menoleh, mendapati pria berkumis tipis di sampingku dengan pakaian kasual—kaus panjang hitam bertuliskan I AM COOL di tengahnya dan celana cargo panjang warna hijau lumut. Yang membuatku tahu kalau dia merupakan pendatang adalah tas ranselnya yang terlihat penuh—memakan tempat—dan juga ekspresinya yang setengah bingung.

Aku melepas earphone dari telinga sebagai wujud sopan santun pada lawan bicara. Sedikit rambutku yang diikat model ekor kuda ikut tertarik. “Ya?” tanyaku.

“Kira-kira butuh berapa lama lagi untuk sampai di Stasiun Poris?”

Oh, itu pemberhentian selanjutnya. Aku melirik jam tangan pada pergelangan kiri. “Sekitar dua menit. Biasanya akan ada pemberitahuan,” jawabku.

Ia mengangguk dan tersenyum lega, lantas mulai berbicara lagi, “Untung saja tidak terlewat. Saya baru kali ini ke sana.”

Kubalas dengan senyuman canggung. Ia tidak begitu tinggi, jadi bisa kulihat wajahnya yang berjerawat dengan mata sedikit merah meski dari samping kiri. Tangan kirinya erat pada pegangan yang menggantung di langit kereta.

“Oke. Kalau begitu saya akan bersiap dekat pintu. Terima kasih,” katanya dan buru-buru pergi menerobos kerumunan.

Aku menaikkan kedua alis sebelum menjawab, “Sama-sama.” Kemudian kembali memasang penyuara telinga, tetapi tidak terdengar apa-apa.

Kupikir benda ini rusak. Namun, ketika merogoh kantung jaket jeans untuk mengeluarkan ponsel, benda itu tidak ada di sana.

Sial.

Aku bergerak ke arah pintu kereta, mencari-cari sosok berpakaian hitam-hijau lumut tadi di antara sesaknya transportasi publik ini. Netraku bergerak gesit, hampir menyerah sebelum akhirnya menemukan ia di antara dua pria besar dekat pintu. Aku pun berusaha keras menyelinap di antara keduanya.

Aku punya bukti jika itu ponselku. Kembalikan jika masih mau hidup,” ujarku rendah dan penuh tekanan pada pria hitam-hijau lumut itu. Sepertinya dua pria besar mendengar ucapanku. Keduanya kini menaruh tatapan selidik pada si Maling.

Maling-setengah-amatir-dengan-style-yang-oke ini sempat melawan. Raut wajahnya menjadi penuh kebencian. Namun, mudah saja bagiku untuk mencengkram lengannya yang tak terlalu besar tanpa perlu buang-buang tenaga. Merasa kesakitan, ia pun akhirnya mengeluarkan sebuah ponsel dari dalam saku celana—ponselku. “I-ini!”

Ting!

Pintu kereta terbuka. Saking buru-burunya, tubuh pria itu condong ke depan dan hampir jatuh menyapa lantai stasiun. Aku melihatnya berlari tak tentu arah, begitu takut akan digebuki warga gerbong yang mengetahui tingkahnya. Ponsel kembali ke tanganku. Kali ini kusimpan lebih rapi ke dalam tas—tidak akan ceroboh lagi pokoknya!

Omong-omong, sering sekali begini, ya. Memangnya mereka pikir wanita tidak bisa melawan? Kok dijadikan sasaran empuk terus. Cih.

_____
16 Desember 2021
©origyumi

Maaf molor terus update-nya. 🙏 Have a nice day, All. ❤️

Tiap-Tiap Punggung | #tellmeyour2021Where stories live. Discover now