20. Maaf, Ponselmu Terjatuh

24 2 3
                                    

Ada jeda berat di antara pagi dan sore milik penghujung musim panas, ketika aku yang hidungnya memerah dan matanya sembab berupaya untuk menghentikan tangis sambil duduk di bangku taman. Ponsel di pangkuan sudah bukan jadi barang yang dielu-elukan. Ia telah berubah menjadi monster besar berlendir yang siap melahap kepalamu dalam satuan kedip mata. Kalau saja jalur komunikasi dengan keluarga bukan dari benda pipih itu, aku pasti sudah membuangnya ke rawa di dekat warung kopi Pak Langu.

Bayangkan saja, kamu diolok-olok sampai dunia maya hanya karena melaporkan kecurangan. Kamu yang benar, kamu yang dianggap kampungan. Katanya, “Percuma, Mbak. Zaman sekarang sudah biasa. Daripada enggak ada yang dengar, mending gabung sama kami.” Seolah membenarkan dugaan bahwa dunia-coret-kita sedang sakit. Sakit moral.

Kewarasanku menolak untuk bergabung dengan para pelaku. Aku keluar dari tempat itu secepatnya, mempersilakan diri sendiri untuk pergi dari tempat beracun tersebut dan berakhir di taman kota ini. Setangkai es krim tidak cukup mendinginkan kepala. Namun, rimbun pohon dengan gradasi warna hijau cukup mengusir sedikit penat.

Ponselku bergetar terus, tanda orang-orang berisik melalui pesan. Meski sudah keluar, aku tidak mengerti mengapa mereka yang di sana masih menggangguku. Intinya, ramai-ramai mereka katakan dengan ancaman supaya penemuanku tidak sampai bocor ke mana-mana. Ya ... itu, sih terserah aku. Di dalam tidak didengar, mungkin di luar bakal didengar. Orang-orang berisik ini sedang ketakutan rupanya.

Sudah habis delapan tisu untuk mengelap air mata dan ingus ketika akhirnya kuputuskan untuk pergi dari taman. Melodi perut menyita atensi yang semula berpusat pada kemelut sosial. Menu makan siang pun tampil dalam layar pikiran. Ketika sedang asyik memilih satu yang kira-kira ada dengan tampang bloon menatap warteg di arah jam dua belas, seseorang menyentuh bahuku.

“Maaf, Mbak,” ujarnya. Aku berbalik sebagai respon. Perlu mendongak untuk bisa melihat rupa pria yang menjadi lawan bicara. Kaus abu-abunya berada di balik kemeja hitam dengan kain lengan yang digulung sampai siku. “Ponsel kamu tadi jatuh.”

Si ceroboh aku sibuk mengamati pria familiar ini sambil menerima ponsel. Rambut pendek rapi, mata panjang yang runcing, alis tebal dan tegas, hidung mancung, senyum manis, arloji hitam di pergelangan kiri, dan ... oh, tunggu. Aku mengenali nametag yang menggantung di lehernya.

“Jangan sampai hilang, ya. Barang bukti di sana semua, kan?”

Suara itu menyadarkan lamunanku. Tidak seperti orang-orang dalam lainnya, pria dengan nametag dari mantan kantor tempatku bekerja ini ternyata masih waras.

“Dan jangan nangis lagi. Saya bakal bantu kamu.”

Oh, Tuhan. Perasaan hangat mengalir sampai ke kedua pipi. Mulai detik ini ... aku punya pendengar.

____
27 Februari 2022
© origyumi

Aku tau ini telat banget!!!!
Maaf, yaaaa (/ㅠoㅠ\)

Tiap-Tiap Punggung | #tellmeyour2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang