22 : Resonansi Jiwa

614 159 130
                                    

Tombak cakra langit menembus perut Frinza. Darah bercucuran membasahi tanah. Frinza tak mampu berdiri, ia terkapar di tanah, tepat di hadapan Dirga.

Dirga menatap Frinza yang terkapar di hadapannya, tombak cakra langit masih berada di tubuh kakaknya. Tubuhnya gemetar, Dirga diam tak bergeming.

"Berengsek!" Gemma memasang raut wajah murka. Ia langsung melesat ke arah Rahwana. Tirta dan Broto juga tak tinggal diam, mereka bersama menyerang Rahwana.

Sementara Dirga menghampiri Frinza yang sekarat. Frinza tak mampu menoleh, ia hanya melirik Dirga dengan ujung matanya.

"Yo, Adik bodoh ...," sapanya lirih dengan pandangan yang kabur.

Dirga tampak mencari seseorang. "Abi ... Abimanyu!" teriaknya memanggil Abi yang mampu menyembuhkan luka dan penyakit.

Abi hanya menatapnya dengan mata berkaca-kaca sambil mengobati Kei yang belum pulih. Ia tampak dilema, di satu sisi Frinza adalah salah satu orang yang penting dalam hidupnya, tetapi di sisi lain, Kei juga sangat berarti untuknya, dan lagi saat ini Kei lebih menjadi prioritas.

"Abi! Tolong sembuhin Frinza!" teriak Dirga.

"Hey, hey, hey--" panggil Frinza mencengkeram lengan Dirga.

"Kenapa terlihat menyedihkan begitu?"

Pandangan Dirga mulai kabur, matanya terhalang oleh bulir-bulir air yang mulai menetes.

"Jangan banyak ngomong dulu, tunggu di sini ...." Belum selesai Dirga bicara, Frinza mencengkeram tangan Dirga lebih keras. "Bangunkan aku, ku mohon," ucapnya lirih pada Dirga.

Dirga memangkunya, ia mengangkat kakaknya yang sudah tak berdaya itu.

"Alasan mengapa Martawangsa membutuhkan tumbal ... adalah untuk memperkuat segel Rahwana," tuturnya.

"Memang kejam, tetapi percayalah ... itu demi kepentingan banyak orang. Kau lihat orang yang memakai topeng Rahwana itu?" ucapnya sambil menunjuk Gentar dengan tangan gemetar.

"Dia bisa menghancurkan segalanya. Rahwana adalah simbol Sanghara," lanjutnya.

"Sekarang ga usah khawatir ... hal yang paling ditakutkan oleh Martawangsa sudah terjadi, Rahwana bangkit ...."

"Kau hanya tinggal menjambak rambutnya saja dan menyentil jakun orang itu sampai menangis," ucapnya sambil terkekeh. "Hancurkan tradisi tumbal yang sudah turun-temurun mendarah daging ini!"

"Satu hal lagi, Adik bodoh ...." Frinza mencabut tombak cakra langit. Darah semakin deras mengalir dari perutnya. Ia memeluk erat tubuh Dirga.

"Jangan benci siapapun ...," bisiknya pada Dirga dengan nada memohon.

"Gemma, Ayah, Tirta, atau Martawangsa lainnya ... ingat, kita bersaudara."

"Frinza, jangan ...."

Frinza lagi-lagi memotong omongan Dirga. "Ssssstt ...."

"Sekali aja ... sekali aja, bisa panggil aku dengan sebutan, Kakak?" ucap Frinza sambil tersenyum.

"Bertahan sebentar lagi, Kakak. Jangan banyak ngomong dulu," ucap Dirga yang semakin erat memeluk Frinza.

Frinza tersenyum. Air matanya menetes dari kedua netranya. "Kau tau apa keinginan terbesar dalam hidupku, Adik bodoh?" tanya Frinza yang semakin terdengar lirih.

"Ah--tentu saja kau tidak tau ... aku tak pernah mengatakannya pada siapapun ...."

"Ayah ... Ibu ... Gemma ... aku ... kau dan Tirta," tutur Frinza.

MartawangsaWhere stories live. Discover now