15 : Kedatangan Sang Braja

662 167 159
                                    

Kombinasi mematikan Peti Hitam telah kembali! Emil Wijayakusuma dan Bayu Martawangsa.

"Cuih." Emil melepehkan darah di mulutnya. Ia dan Bayu memasang kuda-kuda menyerang. Sementara Frinza mulai serius dan memanggil Sabrang.

"Sabrang, sembuhkan luka Tuanmu," titah Frinza pada topengnya. Kemampuan Sabrang adalah meniru kemampuan topeng lainnya, saat ini ia meniru kemampuan Ragil Kuning milik Abimanyu. Seketika itu luka pendarahan di lengannya berhenti, ia juga mengobati pendarahan Sekartaji.

"Pertarungan ini baru saja dimulai," ucap Frinza dengan sorot mata yang tajam ke arah Emil dan Bayu.

.

.

.

Malam semakin pekat, merah bercampur dengan gelap malam, mereka menciptakan warna-warna yang mengerikan. Edwin dan Abi sama sekali tak mampu bergerak, setiap langkah mereka berdampingan dengan kematian. Seorang diri, malaikat maut kecil itu mampu menyudutkan mereka berdua.

Sementara itu Frinza dengan bantuan Sari, mereka berdua harus melawan Emil dan Bayu yang tak kalah mengerikan dari si bocah kematian yang berada tak jauh dari posisi mereka.

"Kau tak ikut bersenang-senang?" ucap Broto pada Gemma yang masih berdiri di samping Karmila. Pria dengan rambut klimis, lengkap dengan rahang yang tegas itu hanya mengamati pertempuran rekan-rekannya. Sesekali ia menatap jam tangan miliknya.

"Ke mana pacarmu?" tanyanya pada Mila.

Mila tak menjawab, ia hanya diam sambil menangis.

"Bisa-bisanya anak itu jatuh hati pada perempuan cengeng begini," ucapnya pada Mila.

"Kita masih punya waktu sebelum gerhana bulan, aku ingin membunuh gadis ini di hadapan, Dirga," ucap Gemma pada Broto.

Gemma menatap tegas ke arah Mila dan mendekatkan wajahnya, ia berbisik tepat di sebelah telinga kiri Mila. "Jika kau harus memilih, lebih baik kau? Atau Dirga yang harus menjadi tumbal Rahwana?"

Lagi-lagi Mila tak menjawab.

"Ya, kita tunggu saja sampai pahlawanmu itu tiba," lanjut Gemma sambil mengamati pertempuran.

***

Ed menatap Widyatama yang terus berlari mengelilingi mereka. Bocah itu lari bukan tanpa rencana, ia berputar mengelilingi Ed dan Abi sambil memasang jaring kematian.

"Asmorobangun, selimuti diriku." Topeng itu mencipakan sebuah zirah yang menutupi ujung kaki hingga ujung rambut Edwin, bentuknya kali ini seperti monster berwarna perak.

Keren, batin Abi yang melihat zirah milik Asmorobangun.

Ed mengambil ancang-ancang untuk berlari. Ia memfokuskan diri pada Widyatama yang sedang berlari.

"Jangan remehkan separuh Lohia," gumam Ed lirih.

"BRAJA!"

Listrik menyelimuti zirah Asmorobangun, tampak zirahnya menyala-nyala dari dalam.

"Langkah petir."

Seketika itu, Widyatama kehilangan Ed dari pandangannya, jaring-jaring benangnya putus akibat sesuatu. Ed dengan sangat cepat sudah berada di samping Widyatama, telapak tangannya sudah bersiap mencengkeram wajah bocah itu.

Orang ini secepat Tumenggung, batin Widyatama yang melirik ke arah Ed.

Dalam waktu sepersekian detik, Ed mencengkeram wajah Widyatama dan membantingnya ke tanah.

Bocah ini berbahaya, aku tak boleh ragu, batin Ed.

Ed mengepal tangan yang satunya, ia bersiap memukul bocah itu dengan seluruh kekuatannya. Seluruh listriknya terhisap ke ujung tinjunya.

MartawangsaWhere stories live. Discover now