2 : Bapang Jayasentika

754 204 39
                                    

"Mau ke mana?" tanya Ibu itu.

"Ke terminal Singaparna, Bu."

"Singaparna?" tanya Ibu itu dengan raut wajah ketakutan.

"Iya, Bu ... ada apa ya?" tanya Bayu heran.

Ibu itu berbisik. "Jangan keluar malam hari, di sekitar daerah itu ... marak pembunuhan berantai."

"Pembunuh itu, menyebut dirinya--"

"Bapang Jayasentika," lanjut ibu itu.

***

Bapang?

"Karena, saat malam sudah tidak ada angkutan, beberapa orang memilih berjalan kaki hingga sampai ke desa, dan ... saat itulah, iblis Bapang membunuh mereka," jelas ibu itu lagi.

"Saya ingat pesan dari, Ibu, terimakasih," balas Bayu sambil tersenyum ramah.

Sesampainya di terminal Singaparna, waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Bayu menggunakan transportasi umum pergi ke sebuah desa yang tidak terlalu jauh dari sana. Desa yang penuh dengan kenangan masa kecilnya, dan desa yang menjadi mimpi buruknya selama dua belas tahun ia pergi meninggalkan desa.

Udah banyak berubah ya, batinnya sambil menikmati pemandangan hamparan sawah. Hembusan angin yang masuk lewat jendela mobil angkutan kota membuat rambutnya berkibar-kibar.

"Kiri, Bang," Bayu berhenti di depan lapangan tanah merah yang dipenuhi anak-anak yang sedang bermain bola.

Sambil berjalan, ia tersenyum melihat bocah-bocah itu. Bayu ingat betul dalam benaknya, ketika ia seusia bocah-bocah itu ... pria yang kini telah tumbuh dewasa itu pernah bermain bola di lapangan itu, dan menjadi pemain andalan di timnya. Bayu terus berjalan hingga ia berhenti di depan rumah tua dengan halaman yang besar.

Rumah ini ... ga pernah berubah.

Seorang wanita yang usianya tak lagi muda, sedang menyapu daun-daun yang berserakan di hamparan rumput. Daun-daun itu jatuh dari pohon besar, tempat ibunya di bunuh. Bayu memperhatikan wanita itu sambil tak sadar, jika air matanya menetes.

"Kak ... Sari ...," ucapnya lirih.

Wanita itu sepertinya mendengar panggilannya, sambil menyapu, ia menoleh ke arah Bayu yang sedang berdiri di depan pintu gerbang sambil menatapnya. Sari menghampirinya.

"Maaf ... cari siapa ya?" tanyanya yang tidak mengenali Bayu.

Jelas saja, Bayu pergi dari rumah ketika berusia sepuluh tahun. Sudah kurang lebih dua belas tahun ia meninggalkan rumah, dan fisiknya sudah jauh berbeda dari saat ia masih kecil. Sementara itu, Kak Sari tidak terlalu berubah. Mungkin, karena saat Bayu pergi, usia kakaknya itu sudah bukan usia untuk bertumbuh lagi, jadi perubahan secara fisiknya tidak terlalu berubah secara signifikan.

"Enggak, cuma--" Bayu menghentikan kalimatnya.

"Cuma?" balas Sari.

"Cuma kebetulan lewat aja," ucapnya sambil tersenyum pada kakaknya.

Bayu memutar tubuhnya, ia berjalan pergi meninggalkan kak Sari dan rumah masa kecilnya itu.

"Bayu!"

Langkah Bayu terhenti.

Ternyata ... Kak Sari masih inget, batinnya sambil menoleh ke belakang.

Seorang anak kecil keluar dari rumah, ia berlari ke arah Sari. Sari menggendong anak itu.

"Bayu ... mau kemana kamu?" sambil mencium kening anak itu.

MartawangsaWhere stories live. Discover now