BAB 08-Parah Sih Ini

88.5K 9.7K 251
                                        

Bunda Heera menganga melihat tiga ember berisi siput penuh. Mereka mau mukbang atau bagaimana? Untung saja pelayan rumah Zaro terbilang cukup banyak jadi mengurus tiga ember siput tidak masalah.

"Orang lain mabuk itu karena amer, wine. Ini gue mabuk siput," ucap Budi menatap siput yang sudah dimasak oleh Bunda Heera.

"Kali-kali aja yekan," sahut Cala tenang.

"Terus ini mau di ke manain?" tanya Zoya.

"Kita jual," balas Cala beranjak ke dapur untuk mengambil plastik dan karet.

Budi menatap semuanya tidak percaya, ketua Argos. Ice Prince sedang membungkus siput dan yang lebih mencengangkan lagi bagi Budi, Zaro nurut-nurut saja kepada Cala. Sungguh bukan Zaro sama sekali.

"Lo mau ngebantuin gak?" tanya Cala galak.

"Ngga," balas Budi menggeleng, sepertinya Budi lupa tentang kejadian di sawah tadi.

Cala mengangguk pelan kemudian tersenyum sinis. "Bastian Axeelo Pramujastra, anak hasil dari—"

Mulutnya langsung dibekap oleh Budi. Budi menatapnya panik. "Oke-oke, gue bakal lakuin apapun tapi gue mohon lo diem," ucap Budi panik.

Cala mengangguk. Perlahan Budi melepaskan bekapannya, sembari membungkus siput-siput itu, Budi sesekali meliriknya mungkin Budi heran kenapa Cala dapat tahu nama lengkapnya ditambah Cala juga sepertinya tahu rahasianya.

Seratus delapan puluh bungkus siput itu Budi dan Zaro masukkan ke dalam kantung plastik, pokoknya mereka berdua menurut saja.

"Za," panggil Budi setengah berbisik.

"Kok Calais bisa tahu nama lengkap gue?"

Zaro menggeleng. "Kini lo tahu kan kenapa gue nurut sama dia?"

Budi mengangguk. Gadis ceria itu berbahaya.

Ternyata mereka menjual siput tersebut di pinggir jalan. Tepatnya jalan depan kompleks perumahan mereka. Memang jalan itu lumayan ramai tapi jujur saja Zaro, Zoya dan Budi merasa malu. Untung saja mereka membawa masker dan topi.

"Yang semangat dong," tegur Cala kepada Zaro.

"Teriak sono, lo cowok bukan!"

"Em," sahut Zaro.

"SEPULUH RIBU TIGA! SEPULUH RIBU TIGA!" teriak Zaro menurut.

"SEPULUH RIBU TIGA!" Budi pun melakukan hal yang sama.

Membutuhkan waktu dua jam agar siput itu benar-benar habis. Mereka berjalan gontai menuju rumah Zaro, mereka memang berjalan tadi. Berbeda dengan Cala yang masih segar bugarnya. Sedari tadi dia hanya duduk tenang sembari minum es jeruk sudah pasti energinya tidak terkuras habis.

Cala membagi rata hasil penjualannya. "Kalian kenapa?" tanya Cala heran. Pasalnya ketiganya menatapnya berbinar.

"Gue ngerasa aneh aja," sahut Zaro sembari memegang uangnya.

"Ya, betul. Kek semacam terharu," timpal Zoya.

"Kalian kek gak pernah megang uang aja," komentar Cala.

"Gini, uang ini mungkin gak sebanding dengan uang yang dikasih Papa gue, tapi ntahlah ada kebanggaan tersendiri walaupun hanya 225.000," ucap Budi.

"Karena kalian mendapatkannya dari hasil kerja kalian sendiri, maka rasanya tentu akan beda," sahut Cala.

Mereka mengangguk dan menyimpan uangnya di dalam dompet. Dalam hati mereka tidak akan menggunakan uang tersebut. Cala bangun dari duduknya.

"Asal kalian tahu, perasaan yang kalian rasakan saat ini adalah perasaan para pekerja keras di luaran sana. Bahkan uang lima ribu pun bagi orang miskin itu berarti. Jadi bersyukur, ya. Kalian semua terlahir menjadi orang serba ada." Setelah mengatakan itu Cala pergi.

Zaro mengerjapkan matanya. Jadi Cala sengaja menyuruh mereka mencari siput sebanyak mungkin lalu menjualnya. Jadi ini bukan keinginan gabut Cala semata saja. Zaro jadi merasa apakah selama ini dia tidak bersyukur terhadap apa yang dia miliki. Atau Cala sering mendengarnya mengeluh setiap malam?

"Zaro, kalau lo nanti ceraiin dia. Tolong kasih dia ke gue, ya," pinta Budi.

"Kenapa?" tanya Zoya.

"Ntahlah semacam apa, ya. Kek saat dia bilang gitu, gue kayak...." Budi menggeleng tidak dapat mendeskripsikan perasaannya dengan jelas.

Zaro menepuk bahu Budi kemudian berkata, "Lo nginep aja. Udah malem besok kita berangkat bareng," ucap Zaro.

Zaro membuka pintu kamarnya. Dia mengernyit karena tidak ada Cala. Mendengar suara air mengalir Zaro mengangguk pasti Cala sedang mandi.

Setengah jam berlalu dan Cala sama sekali belum keluar dari kamar mandi. Memangnya cewek kalau mandi itu lama. Dia sudah meneriaki Cala agar cepat tapi gadis itu justru mengatakan sebentar lagi tapi nyatanya sebentar lagi itu artinya tujuh menit lagi.

"Semedi lo di dalem?" tanya Zaro kesal.

"Tidur gue," sahut Cala tenang.

"Lo itu ngabisin waktu sete—lo ngapain bangsat!" Zaro langsung berdiri dan menyelimuti tubuh Cala dengan selimut.

"Bisa-bisanya lo. Gimana kalau ada orang lain yang liat!" Zaro mengusap wajahnya frustrasi. Dia melihat Cala tanpa menggunakan apapun.

"Gue lupa bawa anduk. Lo sewot banget sih, lo kan suami gue," ucap Cala kemudian memutar bola matanya.

"Bodo." bentak Zaro kemudian masuk ke kamar mandi.

"Jangan keramas woy. Udah malem nanti sakit, terus gue repot!"

Cala membuka lemari pakaiannga. Dia memilih untuk menggunakan baju tidur bergambar kodok warna hijau. Matanya menyipit saat dia menemukan ada barang tambahan dalam lemarinya.

Baju berwarna putih ternyata. Perasaan dia tidak memiliki pakaian berwarna putih selain seragam sekolah. Lantas ini milik siapa? Cala melihatnya, sepertinya dia pernah melihat gambar yang ada pada baju itu. Cala melemparkan baju itu ke ranjang lalu membuka lemari baju Zaro.

Dia membawa baju Zaro san mencocokkannya. Gambarnya sama. Logo Argos, hanya saja baju Zaro berwarna hitam sedangkan ini berwarna putih. Dia membalikkan baju itu. Cala terkekeh saat membaca nama pada baju tersebut.

Kana Aurora

Semuanya sama, yang membedakan hanya satu, di atas nama Zaro ada gambar mahkota sedangkan dibaju Kana tidak ada.

"Ngapain lo?" tanya Zaro mengambil baju tersebut.

"Gue hanya melihat sesuatu yang aneh di lemari gue. Dan ternyata ada baju orang di sana," sahut Cala.

Zaro menggeleng mengira bahwa tempat aman untuk menyembunyikan baju Kana itu di lemari Cala tapi ternyata Cala seteliti itu.

"Beresin sono. Kudu rapi," perintah Cala menunjuk lemari baju Zaro kemudian miliknya.

"Loh, kok gue? Lo yang ngeberantakin coba," sanggah Zaro.

"Kalau baju itu gak ada di lemari gue. Gak bakal gue berantakin."

"Itu baju buat pacar lo, ya. Kenapa gak disimpan di lemari lo?"

"Em."

"Em. Em," ledek Cala menirukan cara bicara Zaro tadi.

"Jangan bilang sama Bunda, ya." Zaro menampilkan wajah baby facenya tapi menurut Cala itu sama sekali tidak cocok.

Cala tersenyum jahil. "Oke, asal bilang dulu kalau gue cantik," ucap Cala.








༶•┈┈⛧┈♛

Mungkin ada yang bilang. Ini cerita kok gini sih, Yes. Zarocala itu kayak cerita sehari-hari antara mereka.

Jadi kalau gak suka ya gak papa😚

Zarocala Where stories live. Discover now