Bagian 2

249 44 3
                                    

Sepulang sekolah Aqila tidak langsung kembali kerumahnya, melainkan mampir dulu ke warung bakso disekitaran tempat tinggalnya. Bukan untuk membeli bakso, tapi untuk membantu penjaga warung agar dia bisa memiliki uang untuknya dan keluarganya makan malam.

Sedikit tentang masalalunya, sudah satu tahun lebih ini, Aqila menjadi tulang punggung keluarga. Bukan satu hal yang mudah bagi seorang anak seusia Aqila untuk menjadi tulang punggung keluarga. Tentunya terlalu berat bagi seorang Aqila yang masih terlalu kecil untuk bekerja. Beban berat itu harus dipikulnya sendiri, sebagai seorang anak yang berbakti, dan sebagai seorang kakak yang peduli.

Untungnya, pemilik warung adalah orang yang sudah dikenal lama oleh Aqila. Dia jugalah yang telah menawarkan kepada Aqila untuk bekerja dengannya selama ini. Aqila memang bukan gadis kaya seperti sikapnya yang terlihat angkuh. Aqila hanya gadis biasa dan makan sehari-hari hanya dengan makanan seadanya. Dulu, hidupnya memang tak seperti ini, lantaran masalah di masa lalulah yang membuatnya harus bekerja membanting tulang sebelum dan sepulang sekolah.

Aqila tampak memperlambat larinya ketika sampai di depan warung baksonya. Sebelum benar-benar masuk, Aqila terlebih dahulu menghembuskan napas sesaknya dengan perlahan. "Sore, Bu!" sapa Aqila lembut dan mulai menaruh tasnya di atas meja samping kompor pemilik warung yang bernama Eka, "Maaf, saya terlambat!" sambung Aqila dan mulai meraih mangkuk-mangkuk kotor dan mencucinya.

"Enggak apa-apa! Jangan sungkan begitu, Nak." sahut Eka ramah.

Peluh masih membasahi dahi Aqila dan sekarang air pencuci piring juga ikut membasahi wajahnya karena tergesa-gesa. Padahal napasnya masih tak beraturan, tapi Aqila malah sudah langsung bekerja karena tidak enak hati dengan Eka yang selalu menggajinya dengan gaji sehari kerja.

"Aqila, istirahat aja dulu! Pelanggannya juga tidak banyak, kamu istirahat dulu sana!" perintah Eka yang malah menjadi tidak enak hati dengan Aqila yang terlihat lelah.

"Enggak apa, Bu! Ibu aja yang istirahat, kayaknya Ibu udah kecapean." balik perintah Aqila kepada Eka. Aqila tentunya juga merasa tidak enak hati dengan Eka yang sudah sedari tadi bekerja, sedangkan dirinya baru saja datang.

Eka tampak mendengus kecil. Gadis itu memang selalu keras kepala dan keras pada dirinya sendiri. Mau bagaimanapun Eka memintanya istirahat, Aqila pasti selalu membantah. Meski Eka sudah tahu dari awal kalau Aqila pasti akan membantah ucapannya, tapi setidaknya Eka sudah menawarkannya agar Aqila tidak terlalu keras pada dirinya.

Aqila baru akan pulang dari bekerjanya pada waktu magrib dan membawakan makanan untuk ibu dan adiknya di rumah. Mereka bahkan hanya makan dua kali sehari, pagi dan malam saja. Itu saja sudah merupakan keberuntungan bagi Aqila. Nantinya, pagi-pagi sekali, Aqila harus datang membantu Eka untuk menyiapkan warung lagi. Lalu, Aqila akan pulang saat jam 6.30 untuk bersiap ke sekolah dan memberi makanan untuk ibu dan adiknya di rumah. Begitu setiap harinya dan terus berlanjut hingga kini.

Aqila juga harus berangkat dan pulang sekolah dengan berlarian agar tidak terlambat sampai di warung dan tidak terlambat pula sampai di sekolah. Tugas yang seharusnya diperankan seorang ayah harus ia pikul dipundak kecilnya. Yang mana pria yang menjelma sebagai ayahnya itu sekarang sedang mendekam dipenjara karena kejadian masa lalu pula.

Singkatnya, saat pulang ke rumahnya dari bekerja. Aqila juga harus berlari, untuk berjalan rasanya Aqila hanya membuang-buang waktu saja karena ada dua orang yang tengah menunggu kepulangannya di rumah. Berlari juga sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari, anggap saja sebagai bonus dari rasa lelahnya.

"Kakak pulang!" ujar Aqila sesampainya di rumah sederhana miliknya dan disambut hangat oleh adik perempuannya yang berumur 6 tahun.

"Apa Kakak bawa makanan?" sambut gadis kecil yang bernama Asyila itu dengan berlari menghampiri Aqila ke ambang pintu.

Abstrak (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang