Bagian 31

84 16 4
                                    

Sesampainya di pemakaman. Aqila kembali tersedu, matanya memandang tak percaya ke arah batu nisan yang bertuliskan nama Cania. Gundukan tanah yang memerah itu seolah menarik semua kekuatan yang Aqila punya. Ia tergugu dan duduk bersimpuh di samping makam Cania, tak ada kata yang bisa ia ucap sebagai sapaan untuk ibunya itu. Terlalu sakit untuk diucapkan dan juga terlalu lemah untuk berucap.

Asyila juga begitu, menangis tersedu dan hanya bisa menatap punggung Aqila yang meringkuk dihadapannya. Jika dibolehkan, Asyila pasti sudah turun dari kursi rodanya dan ikut bersimpuh di samping Aqila. Bukan hanya itu, Asyila sedari tadi juga mengkhawatirkan Abril yang hanya diam sambil memegang kursi rodanya.

"Bu, Qila ... pulang!" lirih Aqila kemudian dengan nada yang sangat lemah.

Aqila kemudian memeluk nisan yang bertuliskan nama Cania itu dan memejamkan matanya yang terasa sangat perih. Disamping ingin menghilangkan perih dimatanya, Aqila juga berusaha menahan sakit yang terkurung di dadanya. Berharap dengan memeluk nisannya, Aqila bisa kembali merasakan sentuhan Cania dan ingin kembali merasakan usapan lembut dari tangan Cania. Kembali pada kenyataan, semua itu hanya sebatas angan yang akan hilang bersama terpaan angin.

Aqila terdiam untuk beberapa saat, hanya tangannya saja yang bergerak mengelus nisan ibunya. Pakaiannya yang kotor oleh sapuan tanah tak ingin dipedulikannya. Matanya yang sempat terpejam harus terpaksa terbuka mendengar isakan yang cukup pilu dibelakangnya. Bukan isakan Asyila, tapi Abril.

Aqila menarik napasnya bersamaan dengan isakannya yang belum hilang. Kenapa pemuda itu sekarang menangis? Jelas sedari tadi ia membentak Aqila karena tidak ingin disalahkan. Lalu, apa sekarang? Pemuda itu malah terisak lebih dalam daripada Aqila. Isakannya terdengar sangat putus asa dan penuh penyesalan. Tidak, Aqila tidak membutuhkan pengakuan Abril bahwa ia menyesal dengan apa yang terjadi. Aqila hanya membutuhkan penjelasan dari apa yang dilakukan Abril, penjelas berupa kenapa ia tidak memberitahu Aqila tentang semua ini.

Dengan cepat Aqila memutar tubuhnya menatap ke arah Abril. "Kenap---"

Ucapan Aqila terjedah saat matanya menangkap Abril yang menangis memunggunginya. Di sana, jelas Abril meremas segumpal tanah dengan tangan kanannya dan membuat tanah itu melebur ditangannya itu. Tangan kiri Abril sendiri bertumpu pada nisan di samping makam Cania. Tidak, Ia tidak menangis karena menyesali perbuatannya, tapi karena sosok yang berada di dalam makam itu.

Mata Aqila bergerak untuk menatap nisan yang digenggam Abril, otaknya memerintah Aqila untuk membaca nama yang tertera di sana. Seketika tenggorokan Aqila terasa mengering dan jantungnya menyempit bagaikan sesuatu ada yang menekan dadanya. Aqila tidak salah dalam mengeja nama yang tertera di sana dan itu nyata adanya. Jelas-jelas itu adalah nama teman sekelasnya, nama pemuda yang pertama kali membuatnya tidak takut pada sosok laki-laki meski tanpa bantuan psikiater.

Mata Aqila kemudian turun menatap tanggal wafat dibawah nama Faizul Argi Hasyim. Yang mana di sana, tanggal yang sama dan bulan yang sama dengan yang ada di atas nisan ibunya terlukis dengan jelas di nisan itu. Itu artinya, Faizul ikut tiada bersama dengan perginya Cania dari dunia ini.

Abril seketika berteriak bersamaan dengan kepalan tangannya yang semakin mengerat. Punggungnya bergetar hebat dan kepalanya terus tertaku. Ada semacam rasa bersalah ikut menyerang Aqila, bisa-bisanya ia menyalahkan Abril dalam keadaan seperti ini. Mereka sama, sama-sama kehilangan dalam waktu yang hampir sama pula. Benar, Aqila memang tidak tahu apa-apa dan hanya menyalahkan setiap yang salah tanpa membenarkan apa yang seharusnya benar.

Terjebak dalam lukanya, Aqila sempat melupakan orang lain yang mungkin lebih terluka. Apa sekarang ia masih mantas memarahi Abril? Tidak. Mungkin Abril lebih terluka dan tersiksa dibanding dirinya karena Abril ada di hari kepergian Cania dan juga Faizul. Sedangkan Aqila, mungkin saat itu ia sedang tersenyum bersama Puja dan Dokter Edo, atau mungkin saat itu Aqila sedang tertidur. Tidak pernah ia bayangkan bagaimana jadinya jika hari itu datang dan hanya Aqila yang tahu dan bukan Abril. Sudah jelas Aqila tidak akan bisa merasakan bagaimana sakitnya itu.

Asyila memutar kursi rodanya ke arah Abril. Gadis kecil itu mengelus punggung Abril seraya menahan isakan ke luar dari mulutnya. Ini yang dikhawatirkan Asyila sedari tadi. Semenjak pemakaman Faizul, Abril tidak pernah lagi mengunjungi makannya karena itu terlalu berat untuknya. Selama itu juga Abril sangat jarang mengeluarkan suara, sejauh ini kata-kata yang ia lontarkan pada Aqila-lah yang terdengar banyak karena kejadian empat hari lalu itu memaksanya tutup mulut.

Aqila mendekat ke arah Abril dan ikut mengelus punggung pemuda itu. "Kak!" lirih Aqila merasa bersalah.

Tak ada jawaban, melainkan hanya isakan Abril saja yang terdengar semakin menjadi. Ia terluka amat dalam, impiannya kandas di tengah jalan, langkahnya terhenti dalam menata masa depan. Langkah yang ingin ia bawa menuju kebahagian bersama Faizul harus berakhir dengan kehampaan. Langkahnya yang ingin melihat kembali tawa dan tubuh Faizul yang sehat harus terhenti paksa oleh waktu yang menyakitkan.

"Kak Faizul pergi ketika ibu sedang dimandikan! Mereka bilang, operasinya gagal dan itu merenggut nyawa kak Faizul. Padahal waktu itu Kak Abril bersama aku dan berusaha nenangin aku yang kehilangan ibu, pada akhirnya berita buruk itu sampai ketelinganya. Padahal Kak Faizul belum mau berteman sama aku, tapi sekarang dia ikut pergi! Padahal juga, Kak Qila enggak tau apa-apa, Kak Qila enggak tau gimana rasanya, tapi Kak Qila malah memarahi Kak Abril sesukanya. Seharusnya kita berterima kasih karena Kak Abril udah ngerawat aku dan juga ibu." terang Asyila pada Aqila yang sempat terenyuh.

Lintangan air mata gadis itu harus kembali tumpah saat tubuh Abril beranjak pergi. Ini memang bukan waktu yang tepat untuk membahas kembali waktu di mana Abril harus kehilangan Faizul. Abril yang sudah dianggap kakak kandungnya oleh Asyila itu berjalan tertatih meninggalkan makan.

"Kak!" panggil Aqila lagi sambil meraih tangan Abril yang kotor oleh tanah yang diremasnya tadi.

"Maaf! Aku emang enggak tau apa-apa! Aku enggak tau kalau Faizul---"

"Udahlah! Sedari dulu kamu emang gitu! Nganggap setiap apa yang aku perbuat itu salah. Pada akhirnya, semua itu enggak lagi bisa dibenarkan." Abril menjauhkan langkahnya dari Aqila dan kembali berjalan meninggalkan pemakaman.

Aqila tak dapat lagi menghentikan Abril yang selama ini belum pernah memarahinya dan sekarang inilah yang terjadi. Rasanya sedikit menyakitkan, tapi Aqila selalu seperti biasa, memilih untuk tidak peduli dengan apa yang terjadi. Aqila kemudian berbalik ke arah Asyila dan mendorong kursi rodanya ikut meninggalkan pemakaman. Terlalu lama di sana juga tidak akan membuat hatinya membaik, malahan akan menambah luka ketika dirinya selalu mengingat kehadiran Cania yang tidak akan lagi ia rasakan.

Meski matanya masih berembun, Aqila tetap tegar seperti hal biasa yang ia tunjukkan. Justru, kenyataan dalam dirinya berbeda, ia mungkin terlihat tegar dan kuat saat ini, tapi ia rasanya ingin mengamuk pada dunia. Ini terlalu berat untuknya, sangat berat. Ditambah lagi dengan kondisi Asyila yang bisa dibilang dalam keadaan tidak baik. Itu artinya, Aqila harus merawatnya lebih baik lagi jika tidak ingin hal serupa terjadi lagi. Hal yang telah membuat Asyila tertabrak karena kelalaiannya dan juga hal yang telah membawanya ke dalam rumah sakit jiwa.

Sekolahnya juga terpaksa harus direlakannya. Jelas, kasus yang menimpanya itu membuat study-nya harus terhenti, mau tidak mau Aqila harus bisa menerima itu semua. Keinginan untuk menghidupi Asyila dengan hidup yang lebih layak harus karam karena ijazah SMA tidak akan bisa ia dapatkan. Pada akhirnya, Aqila harus mencari pekerjaannya lagi dengan menggunakan ijazah SMP-nya. Ya, itu lebih baik daripada Aqila tidak memiliki ijazah.

Bersambung...

Abstrak (End✅)Where stories live. Discover now