Bagian 16

104 21 4
                                    

Seperti biasa. Aqila akan diam di dalam kelas saat jam istirahat, begitu juga dengan Faizul. Aqila selalu menyibukkan diri dengan membaca buku, sedangkan Faizul akan menyibukkan dirinya dengan menggambar pada bagian belakang bukunya. Gambar yang selalu dibuat oleh Faizul sebenarnya bagus, tapi mungkin karena matanya yang tidak berfungsi dengan sempurna membuat gambarnya menjadi sedikit tak beraturan dan mungkin hanya dirinya saja yang bisa memahaminya.

Dalam keadaan posisi menekuni gambarnya, Faizul tiba-tiba merasa otot tangannya melemah dan jemarinya seolah mati rasa. Sesuatu yang mengganjal rasanya ingin ke luar dari dalam perutnya, tapi mengingat dirinya belum makan apa-apa dari pagi membuatnya hanya ingin muntah tanpa ada yang ingin dikeluarkannya. Faizul kemudian mencoba berdiri dari duduknya untuk mencari posisi nyaman agar perutnya tidak lagi bergejolak, bersamaan dengan itu sakit kepala menyerangnya yang membuat Faizul memegangi mejanya untuk mengatur keseimbangan tubuhnya.

"Lo sakit lagi?!" tanya Aqila dan menghampiri Faizul dengan ragu, "A--apa perlu panggilin Kak Abril?!" tanya Aqila lagi.

"Jangan! Tolong kasih gue air aja!" pinta Faizul dan kembali duduk di bangkunya.

Aqila kini menjadi bingung karena dirinya tidak punya air minum, tapi jika Aqila harus pergi membelikannya ke kantin, tentu akan memakan waktu lama. Ditambah lagi Aqila yang benci keramaian, apalagi di kantin biasanya banyak dipenuhi oleh anak laki-laki. Aqila tahu itu dari awal ospek, di mana kantin selalu ramai oleh anak laki-laki.

"Tolong!" lirih Faizul lagi yang membuat Aqila memutar bola matanya bingung.

Mata Aqila tiba-tiba tertuju pada botol air minum di kantong tas yang berada di depan mejanya. Karena tidak ada orang, akhirnya Aqila mengambilnya tanpa izin dan langsung memberikannya pada Faizul. Faizul juga tidak akan ambil pusing dengan air siapa yang diminumnya, yang terpenting sekarang adalah perutnya berhenti bergemuruh dan semoga rasa sakit kepalanya bisa sedikit berkurang.

Syukurlah air itu sedikit membantu. Kini Faizul tak lagi merasa ingin muntah, tapi kepalanya masih sedikit sakit dan tubuhnya masih terasa lemah. Aqila kemudian menaruh kembali botol air minum itu kembali ke dalam tas pemiliknya yang Aqila tahu namanya adalah Rossa. Aqila hanya perlu menjelaskannya nanti kepada pemiliknya.

Tanpa diminta pun, Aqila duduk di bangku depan tempat duduk Faizul. Matanya liar mencari bola mata Faizul karena sedari tadi Faizul hanya memejam kuat. Mungkin, kegelapan di balik kelopak matanya terasa lebih menenangkan dibanding ia harus membuka matanya untuk menatap dunia.

"Gue panggilin Kak Abril aja, ya!" ujar Aqila karena masih kebingungan melihat kondisi Faizul.

"Enggak, jangan! Gue mohon!" sela Faizul cepat dan mulai membuka matanya.

Faizul memiringkan kepalanya ke dinding untuk meringankan sedikit beban di kepalanya. Matanya menatap ke arah Aqila yang kali ini berani menatap matanya juga. Aqila tidak terlihat ketakutan saat menatapnya, melainkan lebih terlihat khawatir dan iba. Faizul benci tatapan itu karena ia merasa lebih lemah dari wanita seperti Aqila. Hal itu membuat Faizul kembali memejamkan matanya.

"Lo tau?! Rasanya sakit! Di sini, juga di sini!" tunjuk Faizul ke arah kepala dan hatinya bergantian.

Aqila tahu apa yang dimaksud Faizul sakit pada bagian kepalanya, tapi tidak dengan bagian hatinya. Aqila ingin bertanya, namun ragu. Mulutnya hanya mampu terbuka tanpa ada kata yang terucap.

Faizul tampak menarik rambut palsunya dan menurunkan tudung hoodie-nya. "Gue benci pura-pura! Hidup gue semuanya palsu! Bahkan, rambut gue aja palsu. Mungkin, kepalsuan ini bakalan berakhir jika gue istirahat, gue mau istirahat aja." ujar Faizul sambil melempar wig-nya ke lantai.

Abstrak (End✅)Where stories live. Discover now