Bagian 18

105 22 8
                                    

Aqila sempat mendapat gaji berlipat dari Gilsya karena pengunjung kafenya yang kian hari makin bertambah banyak. Sebagai rasa syukurnya, Gilsya memberikan Aqila gaji double untuk hari itu saja. Tepat setelanya, sekarang adalah hari minggu, Aqila berencana mengajak Asyila untuk jalan-jalan ke luar agar gadis itu tidak anti sosial seperti dirinya dan juga agar Asyila tidak takut dengan dunia luar.

Kehidupan Aqila memang jauh dari kata cukup, tapi bukan berarti Aqila tidak ingin menyenangkan Asyila sedikit saja. Jika diingat lebih jauh lagi, ini adalah pertama kalinya bagi Aqila mengajak Asyila keluar dari daerah perumahannya. Aqila ingin membelikan Asyila pakaian yang lebih layak dari pakaian yang biasa ia pakai. Seperti ini saja rasanya Aqila masih terlalu pelit dalam mengeluarkan uang.

Aqila dan Asyila sekarang sudah berada di depan toko baju anak-anak yang akan mereka kunjungi. Aqila tentunya ingin membelikan Asyila baju yang sedikit berkualitas tinggi agar tahan lama dan tidak cepat usang. Tentunya Aqila juga sudah mempertimbangkan berapa uang yang akan dikeluarkannya untuk keperluan Asyila.

Singkatnya, kini mereka sudah selesai dengan memilah baju untuk Asyila dan sekarang mereka sedang dalam perjalanan pulang. Di tangan Aqila tentunya sudah menenteng paperbag berisi baju Asyila yang baru saja mereka beli itu. Asyila terlihat kegirangan dan tak berhenti berterima kasih pada Aqila sedari tadi. Semudah itu Asyila tersenyum, sedangkan Aqila sulit mengumbar senyumannya meski itu ia suka.

"Kak, Syila mau itu!" tunjuk Asyila pada seberang jalan yang ada penjual sup buah.

Aqila membungkuk dihadapan Asyila dan memberikan paperbag tadi kepada Asyila. "Tunggu di sini, biar kakak beliin. Jangan ke mana-mana!" titah Aqila dan diangguki setuju oleh Asyila sambil menerima paperbag dari tangan Aqila.

Bergegas Aqila ke seberang jalan untuk memenuhi permintaan adik kecilnya itu. Untuk sekarang Aqila masih punya uang sisa dan itu tidak akan terlalu membuat uang simpanannya menipis karena hanya segelas sup buah saja. Sejujurnya Aqila agak merasa risih karena penjual sup buah keliling itu adalah seorang laki-laki, tapi setidaknya Aqila sudah sedikit belajar bertata krama dan bersikap ramah pada pelanggan di kafe tempat ia bekerja.

Tidak butuh waktu lama bagi penjual itu mengambilkan jajanan Aqila. Tentu hal itu sedikit membuat Aqila merasa bersyukur karena bisa segera keluar dari pengunjung sup buah itu yang cukup ramai berdesak-desakkan.

"Qila! Qila! Hai!" suara yang tak asing itu terdengar memanggil nama Aqila, Aqila bisa langsung menangkap sosok Abril yang melambai ke arahnya dari dalam mobil yang berhenti tak jauh dari Aqila berdiri.

Aqila mulai tampak acuh dan ingin segera menyebrang untuk menemui Asyila segera karena gadis itu mungkin sudah kehausan sebab cuaca yang terbilang panas. Diseberang sana tampak Asyila melambai gembira ke arah Aqila karena melihat sup buah di tangan Aqila yang pastinya untuk dirinya.

Aqila ingin membalas senyuman bahagia Asyila, namun na'as, senyumnya seolah diambil paksa. Sebuah kejadian menegangkan tak terduka langsung merenggut semuanya dari Aqila. Sebuah mobil dengan kelajuan yang terbilang cepat itu terlihat hilang kendali dan menabrak tubuh kecil Asyila yang berdiri di pinggir trotoar. Tubuhnya terpental sekitat 2 meter darinya berdiri, paperbag yang ditenteng gadis itu melambung ke arah yang berlawanan dari arah ia terpental. Sontak tangan Aqila gemetar hebat dan membuat gelas plastik berisi sup buah di tangan Aqila terjatuh berantakan.

Teriakan histeris dari beberapa pejalan kaki menambah suasana mencekam di antara kerumunan. Aqila menelan ludahnya paksa, berusaha mencerna apa yang baru saja dilihatnya itu nyata. Bergegas Aqila menghampiri tubuh Asyila yang sudah bersibak darah dengan tergeletak seolah tanpa nyawa di sudut jalan sana. Dunia Aqila seketika terasa berputar berulang-ulang. Bagaimana tubuh Asyila yang kurus itu terpental dengan kuat dari arahnya berdiri berputar berkali-kali dibenaknya.

Tersadar dari keterguguhannya, Aqila membungkuk di depan tubuh lemah Asyila. Matanya memerah menahan amarah dan luka. Sedangkan orang yang menabrak Asyila barusan tampak tidak turun dari mobilnya. Beberapa orang disekitar sana tampak menggedor pintu mobil warna putih bersih itu meminta pertanggungjawaban.

Aqila menatap ke dalam kaca mobil untuk melihat sosok tanpa perasaan yang menabrak adiknya itu yang tak kunjung ke luar. Sontak Aqila berdiri dan menggila di sana dengan memukul-mukul mobil putih itu dengan tangan kurusnya. Beberapa orang mulai mendekati Asyila dan hendak memberinya pertolongan. Namun ....

"Jangan sentuh adik gue!" teriak Aqila murka dan menatap setiap orang yang ingin mendekati Asyila. Semua orang menjadi kebingungan dan juga merasa kasihan.

"Cepat turun! Aku pobia darah!" satu di antara dua orang yang berada di dalam mobil tersebut memerintah si pengemudi untuk ke luar.

Aqila yang sudah berada pada batas kesabarannya langsung memungut lempengan trotoar yang rusak akibat tabrakan tadi. Jiwa seorang yang tak berperasaan bangun dari dalam diri Aqila. Aqila kemudian mengangkat batu sebesar bata itu ke arah pintu mobil.

Orang yang berada di dalam segera membuka pintu mobilnya agar mobilnya tidak dipukul Aqila. Karena hal itu hanya akan menambah kerusakan pada mobilnya yang juga sudah rusak gara-gara menabrak trotoar. Laki-laki yang terlihat berjas hitam itu turun dengan raut penyesalan, di kepalanya terdapat luka memar akibat benturan yang juga dialaminya tadi.

Dia salah jika mengira batu di tangan Aqila akan digunakan Aqila untuk memukul mobilnya. Nyatanya, batu itu akan digunakan Aqila untuk memukulinya. Dengan tanpa rasa takut yang tiba-tiba datang menyemangati diri Aqila, Aqila mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan membenturkannya kuat ke arah kepala pria itu.

Erangan kesakitan dari mulut pria itu membuat Aqila tak henti memukulinya. Terdengar juga teriakan histeris seorang wanita dari dalam mobil menyaksikan kegilaan Aqila. Beberapa orang disekitar juga berteriak ketakutan, bahkan para pria yang tadinya berdiri di dekat Aqila tampak mundur dengan rasa takut melihat Aqila yang sudah tidak berada dalam situasi normal.

Pada pukulan keempat masih bisa Aqila mendengar erangan dari pria berjas tadi, tapi pada pukulan kelima suaranya hilang bersamaan dengan tubuh lemahnya membentur jalanan. Hal itulah yang menghentikan aksi Aqila dalam menggila.

Aqila kemudian berjalan kembali ke arah di mana adiknya tergeletak. Tangannya mulai kembali bergetar dan mengangkat tubuh Asyila dengan suara tangis yang mengiringi. Aqila berjalan terseok menggendong tubuh Asyila yang terasa berat dan kaki Asyila yang terkulai seperti patah. Semua orang yang berada di jalur yang akan dilalui Aqila langsung membukakan jalan untuknya. Semua menatap Aqila ngeri, apalagi kebanyakan dari mereka adalah perempuan.

Aqila kemudian berteriak tak kuasa menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Teriakannya melangit dan menggema membuat semua merinding. Tetesan darah dari tubuh Asyila meninggalkan jejak disetiap langkah Aqila. Hati Aqila terasa ditusuk beribu tombak, sungguh menyakitkan. Sedangkan di belakang Aqila, pria yang tadi dipukulnya tanpa ampun tampak mulai dibopong orang-orang masuk ke dalam mobilnya untuk segera di bawah ke rumah sakit.

"Qila, cepat masuk! Kita ke rumah sakit sekarang!" titah Abril yang entah sejak kapan berada di sana.

Sedari awal Abril juga melihat apa yang baru saja terjadi. Dia tidak bisa menghentikan Aqila saat menggila karena orang-orang disekitar menutup jalan Abril menuju Aqila. Pada saat Asyila keluar dari kerumunan, Abril kemudian segera mengambil mobilnya dan itu tentunya juga sulit baginya karena macet yang tercipta akibat kecelakaan itu.

Aqila merapalkan syukur dalam hatinya. Syukur karena akan ada orang yang bisa membawa adiknya dengan segera ke rumah sakit. Aqila sendiri sejujurnya tidak tahu kalau Asyila masih bernapas atau tidak, masih ada waktu atau tidak untuk membawa adiknya ke rumah sakit karena sudah cukup lama dibiarkan terbaring dan mengeluarkan darah di atas jalanan sementara dirinya memukuli pelaku.

Abril yang sudah terbiasa dengan mengemudi cepat tentunya tidak butuh waktu lama untuk menuju rumah sakit terdekat. Meski banyak keluhan yang ia umpati sedari tadi karena jalan raya yang sedikit padat. Sebetulnya tidak begitu padat, tapi bagi Abril terasa padat karena laju mobilnya yang diatas rata-rata membuatnya juga cepat bertemu dengan mobil lain dijalur yang sama.

Bersambung...

Abstrak (End✅)Where stories live. Discover now