Bagian 3

193 38 10
                                    

Azan subuh membangunkan Aqila dari tidurnya. Hal itu menandakan kewajibannya sebagai seorang muslim harus segera ditunaikan. Azan subuh juga menandakan mulainya hari berat Aqila selanjutnya. Hari-hari yang selama ini dilaluinya memang sudah terasa berat, hanya tidur malam harilah yang akan membuatnya lupa dengan deritanya untuk sesaat.

Aqila tampak berjalan meninggalkan Asyila yang masih tertidur di sebelahnya. Hari yang berat tentunya juga harus dilalui Asyila, namun Aqila memilih untuk membiarkannya tertidur sesaat lagi sebelum hari berat itu ikut menyapa Asyila. Setidaknya, adiknya itu bisa beristirahat lebih lama lagi. Terlalu kejam rasanya untuk membangunkan gadis kecil itu jika hanya untuk memperkenalkannya pada derita selanjutnya.

Aqila bernapas berat, kakinya melangkah menuju kamar mandi di belakang rumahnya. Bukan kamar mandi mewah seperti yang dimiliki orang-orang pada umumnya, tapi hanya kamar mandi sederhana yang tanpa atap dan sebuah sumur tua yang menjadi sumber airnya. Dengan bantuan katrol, Aqila setiap hari harus menimba air untuk berwudhu dan untuk mandi nantinya.

Kesialan pertama menimpanya untuk hari ini. Ember katrolnya terlepas dari pengaitnya yang membuat Aqila mendengus kesal. Masih terlalu dini rasanya hanya untuk menerima kesialan, tapi begitulah. Mau bagaimanapun juga hal itu sudah terjadi, setidaknya yang putus bukan katrolnya, kalau itu terjadi bisa dipastikan Aqila akan meminta air ke tetangga dan mengharuskannya untuk membeli katrol baru. Itu nantinya hanya akan mempersulit Aqila karena harus mengeluarkan uang untuk hal itu.

"Sialan!" umpat Aqila.

Entah sudah berapa kali kata umpatan keluar dari mulutnya semenjak satu tahun belakangan. Setidaknya dengan berkata kasar dan mengumpat pada dirinya sendiri bebannya terasa lebih ringan. Tidak, Aqila tidak sesabar wanita kuat seperti dalam beberapa acara TV yang menayangkan wanita-wanita kuat dan selalu tabah dalam menghadapi masalahnya. Aqila berbeda dari itu, dia bukan gadis penyabar yang selalu tabah dengan apa yang menimpanya. Aqila memang gadis tangguh, tapi tidak untuk bersabar dalam mendapat kesialan.

Aqila berjalan kembali masuk ke dalam rumahnya untuk mengambil ember lain. Saat Aqila berbalik dengan menenteng ember berukuran sedang ke luar dari arah dapur, matanya tertuju pada sosok Asyila yang berdiri di ambang pintu kamar mereka. Asyila tampak menatap Aqila dengan mata yang masih memerah khas bangun tidur.

"Ada apa? Apa kamu butuh sesuatu?" tanya Aqila saat mata Asyila terus saja menatapnya.

"Kalau ada ayah di sini, dia pasti akan memperbaiki sumur kita! Emangnya ayah ke mana sih, Kak? Kenapa dia enggak pernah pulang?"

Pertanyaan Asyila mampu membuat amarah Aqila memuncah. "Berhenti nanya orang yang udah mati! Dia enggak akan pulang, Syila. Enggak akan pernah!" ucap Aqila sedikit bernada tinggi.

Sosok yang disebutnya ayah itu sudah lama mati bagi Aqila. Bahkan, Aqila sempat berharap kalau ayahnya itu lebih baik mati dipenjara. Tidak ada yang diharapkan Aqila lebih dari itu. Rasanya terlalu menyakitkan saat Asyila mengingatkannya pada sosok ayahnya. Tak ada pengharapan akan kembalinya ia karena itu hanya membuat Aqila kembali merasakan apa yang dulunya ia rasakan.

"Kakak bohong! Ibu bilang ayah masih hidup! Ibu bilang ayah akan kembali!" teriak Asyila sambil meremas gagang pintu. Entah apa yang sudah dikatakan Cania padanya, yang jelas kata-kata itu cukup dibenci oleh Aqila.

"Hentikan, Asyila! Aku bilang ayah
udah mati! Kita enggak lagi punya ayah! Jangan berharap ayah kamu bakalan kembali!" bentak Aqila dan hampir saja melempar ember di tangannya.

"Pembohong! Aku yakin ayah akan kembali!" Jawaban Asyila mampu membuat Aqila terdiam. Asyila juga kembali menutup pintu meninggalkan Aqila yang menatapnya marah.

Perlahan Aqila menghembuskan napasnya menatap pintu kamar yang menutup. Bisa-bisanya gadis kecil itu menganggapnya pembohong. Nyatanya Aqila mempunyai alasan tersendiri membohongi Asyila. Itu juga dilakukannya untuk kebaikan Asyila dan untuk kebaikan mentalnya juga.

Dulu saat ayahnya ditangkap polisi, Asyila memang tidak tahu dan tidak diberi tahu. Gadis itu masih terlalu kecil saat itu terjadi, ditambah lagi Asyila yang dulunya mempunyai banyak teman. Di saat Asyila bermain dengan temannya, ayah mereka dijemput polisi dan Asyila tidak diberi tahu Aqila dan hanya mengatakan kalau ayahnya sudah pergi dan tidak akan kembali.

Setelah terdiam untuk sesaat, Aqila membawa langkahnya kembali ke kamar mandi. Umpatan-umpatan kasar kembali keluar dari mulutnya karena kesal. Aqila membenci hidupnya sendiri, seandainya saja kejadian di masa-masa lalu itu tidak menghampiri keluarganya. Bukan, bukan menghampiri keluarganya, lebih tepatnya menghampiri Aqila seorang, karena apa? Karena Aqila merasa hanya dirinya yang mendapat derita. Bukannya Aqila tidak menganggap adik dan ibunya yang juga menderita, tapi karena Asyila masih kecil dan belum tahu apa-apa tentang seluk-beluk kehidupan yang memuakkan ini dan juga ibunya yang memiliki akal kurang sehat yang mungkin tidak lagi mengerti dengan derita.

Aqila tampak menyematkan katrol ke ember yang baru diambilnya, itu pun ember kain kotor yang diambil Aqila karena hanya itu ember yang tersisa yang ia miliki. Terlebih dahulu Aqila memastikan kaitan katrol dan embernya sudah kuat agar tidak terjatuh lagi ke dalam sumur seperti yang sebelumnya.

Berikutkan Aqila mulai menimba air ke luar dan memasukkannya ke dalam bak kecil yang terdapat di sebelah sumurnya. Aqila menimbanya sampai penuh agar nanti adiknya tidak kesulitan mengambil air untuknya mandi dan untuk mencuci pakaian.

Tidak butuh waktu lama bagi Aqila untuk melakukan semua kegiatannya. Bukan karena dia cepat dan tangkas, tapi karena mengejar waktu kerjanya. Membantu menyiapkan warung Eka di pagi hari yang sudah merupakan sebagian kegiatan tambahan untuknya. Alasannya sederhana karena tidak bisa membantu penjualan di siang hari saat Aqila bersekolah.

Sudah siap dengan tugas rumahnya, Aqila langsung bergegas menuju tempat kerjanya. Memang tidak begitu lama untuk menyiapkan warung, tapi Aqila sudah mengatur waktunya. Waktu agar nantinya dia tidak terlambat untuk membawakan sarapan pagi untuk adik dan ibunya dan juga tidak terlambat ke sekolah. Aqila memang jarang memasak di rumahnya karena Aqila tidak terlalu punya waktu untuk itu. Setiap hari Aqila selalu membeli nasi untuk keluarganya atau hanya memasak mie instan saja. Hanya di hari minggu saja Aqila akan memasak di rumah, mengingat pagi hari dia tidak perlu membantu Eka buka warung dan persiapannya karena pada siang harinya Aqila bisa bekerja tanpa diganggu dengan waktu sekolahnya.

Singkatnya, saat Aqila sampai di rumah Eka, Aqila sudah disambut oleh Eka dengan senyum ramahnya. Alat-alat warung sudah disediakannya, hanya tinggal menatanya ke warung yang letaknya memang agak jauh dari rumahnya. Butuh waktu sekitar 10 menit menuju warungnya. Semua alat itu Aqila yang akan mengantarkannya ke warung dengan bantuan gerobak.

Setelahnya Aqila menatanya di warung tanpa bantuan Eka karena selain mengurus warung, Eka juga punya keluarga yang harus diurusnya terlebih dahulu. Seperti mengurus peralatan suaminya yang bekerja sebagai keamanan kompleks dan juga mengurus peralatan anaknya yang masih duduk di bangku kelas 3 SD.

Jika tugas-tugasnya itu selesai, maka barulah Eka akan menuju warung dan memberi sebagian gaji Aqila karena memang Aqila selalu mendapat gaji perhari yang mana setengahnya akan diberikan pada pagi hari dan setengahnya lagi saat malam hari ketika warung sudah tutup. Uang itu tentunya yang akan digunakan Aqila untuk membeli makanan. Alasan Eka memberikan hanya setengah di pagi hari karena ditakutkan Aqila tidak bisa melanjutkan kerja di sore hari sepulang sekolah. Bukan takut Aqila mendapatkan uang gaji sedangkan dirinya tidak bekerja pada sore hari, tapi karena Aqila sendiri yang menginginkannya agar dirinya tidak lalai dengan gajinya jika diberikan semua pada pagi hari.

Bersambung...

Tetap ikutin ya! Kalau stop, emang enggak penasaran sama kisahnya Abril? Makanya, ikutin terus😉

Abstrak (End✅)Where stories live. Discover now