Bagian 4

168 32 3
                                    

Aqila kini sudah sampai di sekolahnya dengan berlari. Memang dia tidak terlambat, hanya saja Aqila juga masih berkutat dengan waktu. Di mana terlebih dahulu Aqila akan pergi je toilet hanya sekedar untuk mencuci muka dan mengeringkan keringatnya. Aqila memang tidak bau badan, jika itu terjadi bisa dipastikan Aqila akan mendapatkan ejekan dan makian dari orang-orang.

Aqila kini tampak keluar dari toilet dengan perlahan. Setidaknya dia tidak perlu berlari lagi untuk menuju kelasnya. Aqila berjalan pelan ke arah kelasnya yang agak berjauhan dari arah toilet. Napasnya sudah netral kembali setelah beristirahat sebentar di toilet sambil membasuh wajah yang terasa panas dengan air.

"Aqila!" Seseoang memanggilnya yang membuat Aqila menoleh spontan ke sumber suara.

Di sana, dari arah jenjang menuju kelas atas jelas berdiri seorang laki-laki tampak tersenyum ke arah Aqila. Tentu hal itu membuat Aqila berkerut, tapi tidak berlangsung lama, setelahnya Aqila kembali melanjutkan langkahnya saat langkah laki-laki tadi tampak mengarah kepadanya. Laki-laki yang kemaren sempat dibanting Aqila dialah yang memanggil nama Aqila tadi. Entah dari mana Abril mengetahui nama Aqila, tapi Aqila tidak peduli.

"Hei, Qil!" panggil Abril lagi dengan berusaha menyamakan langkahnya dengan Aqila.

Aqila tidak peduli, lebih tepatnya tidak mau peduli. Lagi pula, Aqila tidak punya urusan denganya. Aqila tau Abril adalah wakil ketua OSIS, tapi Aqila tidak merasa punya masalah dengan OSIS yang mengharuskannya membalas sapaannya hanya sekedar untuk menampakkan sikap sopan berhadapan dengan OSIS.

"Dek!" Kini Abril tampak memanggilnya lagi dengan panggilan yang berbeda.

Sebisa mungkin Aqila mengabaikannya. Aqila benci dengan orang-orang yang ingin dekat dengannya. Apalagi, orang itu adalah laki-laki, makhluk paling dibenci Aqila di dunia ini. Jika disuruh memilih antara menginap di hutan satu hari dan berjawab sapa dengan laki-laki, Aqila pasti lebih memilih menginap di hutan. Sebegitu bencinya Aqila dengan laki-laki. Hal itu tentu tidak luput dari kisah masa lalunya.

"Berhenti ngikutin gue!" tekan Aqila saat dirinya mati-matian menghindari Abril dengan mendiaminya, tapi Abril masih saja mengikuti langkahnya yang membuat Aqila jengkel.

"Hmmm ... aku cuma mau barengan sama kamu aja! Kelas kita searah!" Abril tampak berusaha sebisa mungkin untuk bersikap dan berperilaku baik dihadapan Aqila agar gadis itu tak lagi menjawab pertanyaannya dengan senjang.

Aqila kali ini memilih diam. Lebih baik Aqila mengunci rapat mulutnya itu supaya nantinya kata-kata umpatan kasar tak ke luar dari mulutnya. Setidaknya Aqila masih menghormatinya sebagai kakak kelas. Aqila hanya tidak mau memperburuk keadaannya yang memang sudah buruk. Meski sedikit ada rasa takut, tapi Aqila masih bisa mengatasinya.

Sesampainya di kelas, Aqila menyelonong begitu saja tanpa mengucapkan satu kata pun pada Abril. Di dalam kelasnya sudah ada hampir setengah dari murid kelasnya yang datang. Hanya satu diantaranya yang laki-laki dan selebihnya perempuan. Abril hanya tersenyum pahit menatap Aqila dari arah pintu, setidaknya Aqila tidak membantingnya seperti kesan pertama yang Aqila berikan padanya. Bisa Abril rasakan kalau Aqila punya beban hidup yang sulit ditanggungnya.

Aqila menuju bangkunya dan langsung merebahkan kepalanya di atas meja dengan beralaskan tas miliknya. Sama seperti kemaren karena Aqila masih butuh istirahat, meskipun sudah tidak berkeringat lagi, tapi Aqila masih lelah. Hari-hari berat inilah yang selalu dilalui Aqila selama ini, tapi sepertinya hari-harinya akan lebih berat lagi saat ini karena jarak rumah dan sekolahnya terbilang cukup jauh. Tidak seperti dulu saat di SMP, yang mana jaraknya dari rumah ke sekolah tidak begitu jauh dan tidak membutuhkan waktu yang banyak.

"Hei! Siapa di sini yang semasa SMP-nya suka nge-bully?!" Pertanyaan seorang gadis yang cukup cantik itu mampu menarik perhatian beberapa murid yang sudah berada di kelas tak termasuk Aqila.

Abstrak (End✅)Where stories live. Discover now