Bagian 8

130 25 5
                                    

Aqila kini berjalan gontai pulang ke rumahnya. Berkeliling sedari tadi mencari pekerjaan, namun tak kunjung ditemukannya. Persediaan uang yang tersisa juga sudah menipis, Aqila sungguh menjadi pusing dan berat pikiran. Jika Aqila harus menghutang ke tetangga, pasti tetangganya tidak akan ada yang mau. Mereka semua takut jika Aqila nantinya tidak bisa bayar jika dilihat dari kehidupan Aqila selama ini.

Terhitung sudah tiga hari ini Aqila belum juga mendapatkan pekerjaan. Rasanya sulit mencari pekerjaan yang waktunya bisa ditentukan oleh dirinya sendiri. Kebanyakan toko, restoran, dan kafe yang didatangi Aqila semuanya hanya menyediakan shift siang saja. Tidak ada yang mau seperti yang dilakukan Eka, bekerja sebentar di pagi hari dan lanjut nanti setelah pulang sekolah.

Seakan lelah dengan berjalan, Aqila mengistirahatkan dirinya sebentar di sisi jalan, menekuk lututnya dengan duduk di tepi trotoar. Bukan lelah karena berjalan, tapi lelah memikirkan hidupnya yang masih begitu-begitu saja. Bahkan, terasa semakin buruk yang dialaminya.

Aqila memang tidak seberuntung mereka yang terlahir dari keluarga berada dan harmonis, tapi setidaknya Aqila juga tidak semerugi orang-orang yang bahkan mendapatkan penderitaan lebih darinya. Aqila cukup bersyukur dengan hal itu, tapi sekarang sudah berubah. Kehidupannya semakin terasa buruk, seakan berjalan di atas duri tajam yang lama kelamaan semakin runcing dan terasa membanyak.

Seorang wanita paruh baya tampak terjatuh di sebelah Aqila, namun Aqila tak ingin membantunya karena Aqila merasa sangat lelah. Hatinya memang ingin membantu, tapi otaknya menolaknya dan otaknya memerintah Aqila untuk diam saja.

"Akhh ...!" rintih wanita itu dengan memegangi pergelangan kakinya yang mungkin terkilir.

Suara rintihan itu membuat perhatian Aqila terpusat padanya, tatapan Aqila berubah aneh. Barang belanjaan wanita itu tampak berserakan, tapi bukan itu yang membuat tatapan Aqila menjadi aneh. Namun, sebuah dompet wanita itu yang juga terjatuh di atas trotoar dan sangat dekat dengan tangan Aqila yang tertumpu pada tepi trotoar. Sesuatu pikiran yang seharusnya tidak boleh muncul malah menyerang pikirannya tiba-tiba.

Aqila tampak ragu, matanya mulai menatap sekeliling. Tidak ada yang berjalan di trotoar ataupun kendaraan yang berhenti di sekitar sana. Tangan Aqila gemetaran hebat saat otaknya kembali memerintah dengan tanpa belas kasihan, otaknya jelas memerintah Aqila untuk mengambil dompet itu. Mungkin, uang yang ada di dalam sana bisa saja membantu kelangsungan hidup Aqila selanjutnya.

Kini tangan Aqila sudah meraih dompet berwarna merah itu dan membawanya lari. Pikirannya benar-benar sudah dirasuki oleh ketakutannya. Lari Aqila bahkan terasa lambat dari biasanya karena hatinya meminta untuk kembali. Aqila tau ini salah, tapi yang lebih salahnya lagi adalah hidupnya yang memaksa Aqila untuk melakukannya.

"Hei! Copettt! Balikin dompet saya!" teriak wanita tadi dengan berusaha bangkit dari jatuhnya. Namun, kakinya terasa sangat sakit yang membuatnya harus kembali tersungkur.

Aqila sempat menoleh sebentar lalu langsung fokus ke depan untuk terus berlari. Seakan dunia merestui perbuatannya untuk saat ini, yang mana korbannya tidak bisa mengejar Aqila lantaran kakinya sakit dan juga sekitar yang tidak ada orang akan membantu korban. Aqila sungguh sangat merasa kasihan dengan wanita tadi, tapi nyatanya dirinyalah yang perlu dikasihani.

Merasa cukup dengan lari jauh dari korban. Aqila berhenti sejenak mengatur napasnya yang terasa hampir habis. Bukan hanya karena kelelahan berlari, tapi juga karena perbuatan gila yang dilakukannya. Mencuri sesuatu yang berharga untuk pertama kalinya tentunya membuat Aqila tidak tenang dan gemetaran.

Perlahan Aqila membuka isi dompet untuk melihat berapa uang di dalamnya. Berapa kerugian yang Aqila ambil dari wanita tadi yang jelas-jelas membutuhkan bantuan. Aqila sangat tau perbuatannya salah, sampai sekarang jemarinya masih bergetar hebat dan terasa dingin. Tubuhnya berkeringat, namun dia merasa kedinginan karena gemetar.

Abstrak (End✅)Where stories live. Discover now