Bagian 24

82 19 0
                                    

Kini Abril dan Faizul sudah mulai memasuki rumah sakit. Benar-benar tidak terlihat seperti rumah sakit, tapi seperti rumah mati. Abril dan Faizul pikir rumah sakit jiwa itu akan sangat riuh dan menegangkan, tapi ternyata tidak. Tenang, lebih dari rumah sakit biasa. Entah itu wajar atau tidak, mereka juga tidak tahu dan tidak bisa memahaminya.

Ruangan yang mereka tempati sekarang ini lebih tenang dari luaran sana yang bisa dibilang lebih bersuara karena ada beberapa perawat yang berlalu-lalang dan mengobrol dengan sesamanya. Ruangan di sana semua tampak tertutup dan hanya ruangan yang mereka tempati sekarang saja yang terbuka. Di ruangan inilah mereka menunggu Aqila yang semoga mau bertemu.

Seorang perawat di sana tampak masuk ke ruangan itu, ia menyapa dengan sangat ramah. "Mohon maaf! Aqila tidak mau ke luar dari kamarnya, ia bilang ia tidak ingin menemui kalian!" ujarnya sambil memelankan nada bicaranya.

Dua kakak beradik itu saling berpandangan. Mereka berdua pasti memiliki pemikiran yang sama sekarang, yaitu kembali memohon agar bisa membujuk Aqila untuk menemui mereka. Mereka tidak tahu pasti apa alasan Aqila menolak ingin bertemu.

"Sus, bisa bujuk Aqila-nya lagi? Tolong! Atau, apa boleh kami ke kamarnya?" tukas Abril sambil memohon.

"Ah! Akan saya usahakan untuk membujuk Aqila! Mohon tunggu di sini saja!" jawabnya cepat yang membuat Abril dan Faizul kembali berharap semoga kali ini Aqila mau bertemu.

Perawat wanita itu pergi lagi ke kamar Aqila. Di sana Aqila meringkuk di atas kasurnya sambil terus menangis sedari tadi. Ruangan paling pojok itulah yang menyaksikan tangis Aqila saat ia baru saja terbangun. Baru satu hari Aqila berada di tempat itu, tapi ia sudah sangat merasakan derita yang mendalam dan menyakitkan. Sudah dua kali Aqila mendapatkan suntikan yang membuat Aqila setelahnya akan merasakan kantuk yang luar biasa dan merasa tenang. Aqila juga terpaksa meminum obat yang bermacam-macam yang ia sendiri tidak tahu fungsi dari obat itu.

Perawat itu menarik Aqila berdiri dari kasur. "Cepat pergi sana temui orang itu." titahnya.

Aqila tetap pada pendirian awalnya yang tidak mau pergi menemui orang yang ingin bertemu dengannya karena Aqila tahu orang itu pasti Abril. Untuk sekarang ini, Aqila memang sudah tidak takut dengan Abril, tapi ia hanya kecewa lantaran kepercayaannya kepada Abril kembali hilang. Dia pikir Abril sudah tahu kalau dirinya akan dikirim ke sini. Aqila hanya kecewa karena Abril mengatakan kalau semua akan baik-baik saja dan ia tidak akan masuk penjara. Memang benar Aqila tidak masuk penjara, tapi di sini sama saja rasanya seperti di penjara atau mungkin terasa lebih menyakitkan.

"Kamu mau disuntik lagi? Kalau kamu tidak menurut, aku akan suntik kamu!" ancam perawat itu dengan menarik Aqila yang sedari tadi tidak mau berbicara dan hanya menggeleng-geleng saja.

Aqila menatapnya dengan tatapan meminta belas kasihan dari wanita itu, tapi Aqila malah mendapat sentakan kasar darinya. "Ayo, temui mereka. Kalau kamu terus bersikeras berada di sini, mereka pasti akan nekat masuk ke sini. Kamu tahu, tidak ada pengunjung yang boleh masuk ke kamar pasien! Jadi, pergilah!" desaknya lagi dan terus memaksa Aqila.

Aqila tertegun untuk sesaat, mencoba mencerna perkataan yang tidak ia dengar dengan baik karena ia tidak dalam keadaan ingin mendengarkan teriakan perawat itu. Setelah Aqila memahami perkataan perawat itu mengenai kata-kata 'mereka' berarti bisa Aqila simpulkan kalau Abril tidak datang sendiri. Aqila akhirnya mau menemui mereka dan berharap yang datang bersama Abril adalah Faizul. Karena Aqila sudah cukup dekat dengannya dan Aqila juga butuh sebuah informasi yang mungkin Faizul juga ketahui.

Perawat itu menuntun Aqila dengan rasa jijik. Bibirnya sedari tadi terus dimiringkannya karena jengkel. Kenapa pagi-pagi begini ia sudah harus kedatangan pengunjung yang mengharuskannya membawa Aqila kepada mereka?

Abstrak (End✅)Where stories live. Discover now