4. Malam yang Malang

3.9K 405 132
                                    

Sebelum lanjut baca, aku mau ingetin, cerita aku semua pasti rated M.

Yang satu ini lebih dark, hard love, including drugs, contains violence. Aku tidak mencoba menormalisasi ataupun meromantisasi kekerasan, karena cerita ini pure fiktif. Salah satu caraku mengekspresikan pikiran. Satu lagi, please don't bring any religion here.

So, aku harap kalian bijak dalam memilih bacaan. Kalau gak suka, ya sudah, please leave. Jangan sampai mencurahkan kesan buruk. Oke? Thank you.

Happy reading, x.

Masih dengan emosi yang belum terlampiaskan sebelumnya, Da In mengemudikan Porsche dengan kecepatan penuh. Bagaimanapun, hubungannya dan Jimin tidak akan pernah bisa kembali seperti semula.

Seperti dulu, mencintai satu sama lain. Atau jika dipikir kembali, agaknya hanya Da In yang mencintai Jimin, tidak dengan sebaliknya. Kerap kali Da In mengungkapkan betapa ia mencintai Jimin, namun pria itu nyaris tidak pernah mengatakan hal yang sama.

Hingga pada akhirnya Da In tahu, Jimin memiliki tujuan. Red Dragon. Kelompok mafia yang mematikan dan tidak tersentuh. Banyak yang mengetahui nama Red Dragon, akan tetapi tidak pernah ada yang tahu bagaimana wujud nyata kelompok itu. Ayah Da In merupakan ketua mafia yang paling ditakuti. Pun sejak mengetahui intrik pemuda Park hanya untuk merebut hati ayah Da In, gadis itu mulai membencinya.

Tiba didepan gedung besar dengan arsitektur bergaya Eropa—sebuah katedral, Da In memarkir mobil silver yang membawanya kesana. Satu-satunya tempat yang kerap Da In datangi saat pikirannya tengah pelik. Duduk di tengah bangku dengan mata terpejam. Menenangkan diri. Membiarkan energi positif yang ada di dalam katedral mengalir ke dalam tubuhnya.

Beberapa menit terdiam ditempat yang sama, terdengar suara pintu terbuka. Tak sedikitpun mengusik Da In pasa awalnya. Hingga suara langkah berat tertangkap pendengaran sedang berjalan mendekat. Kemudian saat Da In merasa seseorang telah menempatkan diri disebelahnya, mata Da In terbuka.

"Apa yang kau doakan?" suara bisikan berat nan dingin menyapa rungu Da In.

Terkesiap, Da In tak percaya dengan seseorang yang kini ditatapnya lamat. Dari sekian banyak penghuni kota Valley Hills, puluhan orang yang tinggal disekitar katedral, mengapa Taehyung yang tiba-tiba muncul dihadapannya? Duduk berdua tanpa ada orang lain disana. Mungkin jika takdir memang ada, inilah yang disebut dengan kata sakral itu.

"Doa? Aku tidak sedang berdoa." jawab Da In beberapa detik setelah menarik kembali kesadaran.

Taehyung yang semula menatap lurus kedepan, memalingkan wajah pada gadis disebelahnya. Netra mengunci satu sama lain. Sama-sama terdiam sejenak berkutat pada pikiran masing-masing. Mempertanyakan pertemuan anomali yang tengah terjadi.

"Lalu, apa yang kau lakukan disini?"

Da In tidak lagi memandang wajah Taehyung, "entahlah. Menenangkan pikiran? Lagipula aku tidak tahu cara berdoa."

Taehyung tergelak remeh mendengarnya. Sedangkan Da In bersungut melihat senyuman yang terulas tanpa sadar dari wajah sempurna itu. Dalam hati bertanya-tanya alasan Taehyung tertawa meremehkan seperti ini. Apa karena dirinya? Apa ada sesuatu yang lucu?

Mengabaikan Da In yang masih menatapnya, Taehyung kembali menatap lurus kedepan. Matanya terpejam dengan kedua tangan mengatup rapat di depan dada. Melihat pergerakan Taehyung, Da In mengikuti seperti seorang anak kecil yang tengah belajar dari orang tua mereka. Meniru semua pergerakan. Berpikir, mungkin begini cara orang-orang berdoa.

Dangerous ChoiceWhere stories live. Discover now