6. Sweet But Psycho

3.4K 366 95
                                    

Seperti yang dijanjikan, aku update nih! Hope you guys like it🥺💜 Happy reading, x.

—•—

Song Da In, namanya. Gadis yang selama beberapa bulan menjadi pusat perhatian anak laki-laki itu tiap kali ia pergi konsultasi terapi. Selalu ditempat yang sama, duduk pada bangku panjang di taman, seakan menjadi tempat pribadi. Pohon beringin menaungi presensi gadis cilik itu. Parasnya sendu, tampak terluka, atau lebih ke sebuah penyesalan.

"Jadi, kau sudah tidak akan berkunjung lagi?" suara Da In terdengar parau. Tubuhnya masih terlentang diatas bangku taman. Netra menerawang jauh ke angkasa. Menggunakan telapak tangan untuk menutup teriknya matahari yang menerpa wajah.

"Ibuku mengatakan begitu. Apa kau berpikir aku sudah baik-baik saja?"

Da In beranjak menegakkan tubuh. Kini menatap anak laki-laki yang sudah menjadi temannya lima bulan terakhir. "Kau tampak cukup normal untuk berada disini. Tapi kurasa, kau tidak baik-baik saja."

Obrolan dua bocah yang nyaris genap berusia lima belas tahun itu menjadi semakin intens. Yang semula anak laki-laki duduk direrumputan, kini beralih ke atas bangku. Bersebelahan dengan Da In. Beradu tatap seolah mereka dua orang dewasa yang sedang membicarakan hal berat.

"Kau benar. Bahkan kau tampak cukup waras untuk seorang pasien rumah sakit jiwa."

Gadis itu mengangguk setuju. "Mingyu, tidakkah kau merasa semakin terikat padaku? Maksudku, akhir-akhir ini kita selalu bersama. Ibumu mungkin merasa kau tidak lagi bergantung padanya atau kakakmu, tapi bagaimana denganku? Apa kau akan baik-baik saja setelah kita berpisah?"

Mingyu terdiam. Da In benar telak. Upaya sang ibu untuk membawanya pergi terapi semata-mata agar ia tidak lagi bergantung dengan ibu atau kakaknya. Sebab dia sudah terlalu parah. Tidak bisa dijauhi barang semenit. Pun setelah delapan bulan melakukan terapi, ia merasa tidak lagi membutuhkan ibunya. Akan tetapi, ia bertemu dengan orang lain. Song Da In. Gadis yang membuatnya tertarik selama delapan bulan terakhir. Tanpa sadar membuat ikatan kasat mata yang mungkin akan sulit untuk diputuskan begitu saja.

"Song Da In. Ingin pergi dari sini?"

--

Song Da In enggan membuka mata. Menarik selimut hingga menutup seluruh tubuh. Hangat. Bergumul dibawah balutan bed cover di pagi hari merupakan salah satu kenikmatan melebihi saat bersenang-senang di kelab malam. Sayangnya, sinar matahari yang berusaha merangsek masuk melalui celah-celah jendela terus-menerus menerpa wajah. Mengerang sebal, Da In kemudian beranjak. Masih dengan mata tertutup, mengacak-acak rambut frustasi. Bagaimana pula matahari bisa masuk ke dalam kamarnya yang sudah jelas tidak memiliki jendela?

Ada satu hal yang Da In sadari saat membuka mata. Mencoba mengumpulkan nyawa sebelum menyimpulkan kondisi saat ini. Mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan. Ada yang janggal. Ini bukan kamarnya. Bukan pula kamar Mingyu. Bahkan ini bukan kamar Jimin. Sontak Da In terperanjat. Menyatukan seluruh kesadaran dan memproses kejadian yang menimpanya.

Mencoba mengingat kembali yang terjadi semalam. Terakhir kali ia berbicara dengan Mingyu. Mengatakan keberadaan kunci beserta mobil milik pria itu, kemudian pergi meninggalkannya begitu saja. Ingatan terakhir yang ia miliki. Oh, Da In menyalahkan heroin yang bekerja tidak pada waktunya.

Tidak ingin menghabiskan waktu dengan berpikir, Da In lantas berjalan menuju satu-satunya pintu yang ada. Mengendap-endap, antisipasi jika saja dia berada pada tempat berbahaya. Secara harfiah, ia memang berada pada tempat demikian. Da In menegakkan tubuh setelah menyadari dimana ia berada sekarang. Sangat familiar. Bahkan ia pernah mengunjungi. Mansion megah milik Taehyung.

Dangerous ChoiceWhere stories live. Discover now