29. November Rain

1.6K 251 59
                                    

guys, for concern, kalau kalian tahu sudah sampai target dan aku belum update, boleh banget ketuk DM ig atau twitter buat ingatin aku update ya. aku nggak setiap hari buka wp dan wp aku gak ada notifnya. jadi kadang aku gak tau kalau ceritanya sudah sampai target. feel free to reach me out bb, socmed aku tercantum di bio.

part ini buat kalian yang lagi ovt sama endingnya wkwk. lumayan panjang ya, 3k+ words. semua enigma di cerita ini sudah terjawab. cluenya sudah habis, sudah terhubung satu sama lain.

makasih banyak buat yang support cerita ini dari awal sampai sekarang. terima kasih 4k votes dan 28k readers. i feel grateful to have you. ngl, part ini bikin aku emosional:')

step up the game, 95 votes for next part.

happy reading, love. x

—•—

Bulan November mengawali musim penghujan yang telah datang. Rintik-rintik hujan kerap membasahi tanah sampai lengas, menjadi penyembuh kekeringan. Terkecuali hati Da In sekarang, yang bahkan hujan tidak mampu membasuh kemarau berkepanjangan. Terjebak gersang dalam sebuah palung, tanpa ada bantuan dari gerimis pemanis.

Seminggu sudah Da In kembali pulang ke tempat yang seharusnya ia sebut sebagai rumah, sebab tidak pernah ada kehangatan ataupun kenaiman sejak dia menginjakkan kaki ke dalam sana. Lebih seperti tempat asing penuh kesunyian.

Kamar menjadi destinasi utama dan terakhirnya. Bilik dengan tatanan persis seperti sebelum Da In pergi dari Korea. Tidak ada perubahan signifikan selain sprei dan bidai yang kerap diganti agar tidak meninggalkan debu, lemari kosong sebab seluruh pakaiaannya ditanggalkan, serta aroma Hoseok yang sudah tidak ada di sana. Terakhir kali Da In meninggalkan kamar itu, dia mengingat masih ada raksi yang tertinggal dari kakaknya. Semua jejak memori inderanya tentang Hoseok telah lindap. Lenyap oleh fragmen-fragmen baru dalam ingatan.

Kedatangannya ke rumah seperti hal paling tidak diinginkan. Hal yang Da In dapati pertama kali saat masuk adalah tatap terkesiap Seokjin dan ayahnya. Pria paruh baya duduk di ruang tengah selagi membuat panggilan penting dari gawainya, sementara kakak tertuanya berada di sofa seberang sibuk menelaah lembar demi lembar dari berkas di atas meja. Keduanya sontak terdistraksi akan kedatangan wanita yang—barangkali—dirindukan. Namun diantara mereka tidak ada yang tahu cara menyambut kepulangan. Dua pria di sana hanya menatap penuh keterkejutan. Tidak ada yang pernah menyangka bahwa Da In akan pulang. Atau, tidak pernah ada yang mengharapkan.

Tatapan Seokjin paling meyakinkan Da In bahwa kedatangannya tidak dinantikan. Penghakiman sunyi dari sepasang mata gelap dan tajam. Kali pertama membalas pandangan itu, Da In tahu kehidupan kelamnya kembali menyapa di depan mata. Akan tetapi, prestis Da In menolak untuk membiarkan dirinya terintimidasi oleh Seokjin.

Song Junho adalah yang pertama beranjak dari duduknya dan menghampiri Da In tergesa. Menarik tubuh putri bungsunya dalam sebuah rengkuhan kecil. Entah bisa disebut sambutan atau tidak, yang pasti Da In tidak membalas pelukan itu sama sekali. Daksanya membeku. Tercenung beberapa detik untuk memahami tindakan yang ayahnya lakukan.

Setelahnya, tidak ada vokal yang mengudara barang sekali. Song Da In membisu selama dia berada di rumah. Tidak pernah memberi suaranya untuk didengar ayah atau Seokjin. Keluar dari kamar untuk menikmati sarapan dan kembali termenung di dalam kamar hingga hari berganti. Dalam tujuh hari, terhitung Da In hanya tertidur selama tiga hari. Malam-malam dingin membuatnya terjaga. Berusaha bertahan dalam kesendirian. Ada rindu pada sudut hatinya akan dunia luar. Rindu pada Mingyu, rindu pada kelab, rindu pada Taehyung. Semua yang tidak bisa ia dapatkan dalam wastu ini. Di satu malam, Da In mengudarakan rindunya dalam bentuk harap. Terpejam di atas ranjang bersama likuid yang mengalir perlahan dari kedua sisinya.

Dangerous ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang