21. The Chaos

1.9K 273 80
                                    

Haloooo! Agaknya siders mulai sadar yah. Beberapa hari udah target aja, proud and grateful for you guys😭💜 Padahal aku ngira bakal semingguan lebih votesnya baru memenuhi target. Siders yang masih diam-diam ae apa ga mau menampakkan diri juga? Aku ga gigit kok guys, mau makasih malah kalau akunya diapresiasi :(
Apalagi aku makin semangat update kan jadinya, hehe.

Yuk, coba lagi, 65 votes for next part! Bisa lah, masa engga😋 Ini banyak loh, 3k+ words. Kalo ga sampai target gimana? Ya tunggu sampai dulu baru lanjut, wle💅🏻

Happy reading, x.

—•—

Da In sudah menetapkan keputusan akhir, tanpa ragu pergi menemui Jimin meski baru beberapa saat lalu ia bertemu dengan pria Park sepulang dari Katedral. Jam menunjuk pukul sebelas malam, dan Da In masih setia menginjak pedal gas mobil milik Mingyu memecah jalanan yang tampak lengang. Musim gugur sudah menyapa melalui tanda malam terasa dingin. Sudah seharusnya Da In pergi dari kota sialan ini. Tidak ingin berniat menapakkan kaki lebih lama lagi.

Menghentikan mobil di depan rumah besar, dengan pagar kayu tinggi menutupi kondisi dalam hunian mewah, Da In mengurungkan niatnya untuk langsung menghampiri Jimin dan memberikan yang pria itu inginkan. Tujuan utamanya adalah kediaman keluarga Kim Mingyu. Lantas di sinilah Da In berada, menunggu Mingyu keluar dengan tubuh bersandar pada mobil dan kedua tangan saling bergesek mencari kehangatan.

"Da In!" seru Mingyu setelah keluar dari pintu gerbang, menghampiri Da In dan memberikan pelukan seerat mungkin. "Aku sangat mengkhawatirkanmu," ujarnya lagi di sela-sela pelukan mereka. Mengusak wajah dari ceruk leher Da In sekaligus menghidu dalam-dalam aroma yang sudah teramat dirindukan.

"Sedikit lagi, Gyu. Aku sudah mendapatkan yang Jimin inginkan. Tinggal memberikan padanya malam ini, kemudian kita bisa kembali ke London besok pagi."

Mingyu meregangkan pelukan, menatap Da In penuh bimbang. Menyibak surai kenya itu menggunakan jemari panjangnya. "Kau ... bagaimana bisa? Tidak mungkin kau mendapatkan semudah itu. Apa yang kau lakukan?"

Menarik tangan Mingyu turun dari wajahnya, Da In menggenggam tangan hangat sahabatnya. Menelusup ke dalam obsidian pekat penuh keyakinan. Dia tahu ini tidak akan mudah jika ia tidak segera menemui Jimin dan membiarkan Taehyung untuk menemuinya segera. Setidaknya, jika Jungkook belum menemukan kesadaran, Da In masih akan baik-baik saja. Maka tidak banyak waktu yang bisa dihabiskan untuk bercengkrama hangat dengan Mingyu. Dia harus segera pergi dari sana dan bertemu Jimin segera.

"Jangan mengkhawatirkanku. Tunggulah di rumah hingga aku menjemputmu besok pagi. Jika aku tidak datang, kau harus segera kembali ke London. Aku sudah memesan tiket."

Mingyu melepaskan genggaman sepihak. Melangkah mundur antisipasi sambil menatap Da In curiga. Dia tahu bukan hal baik manakala Da In menyatakan kedatangannya esok pagi dalam bentuk keraguan. "Da In, apa yang sudah kau lakukan? Kau tahu aku tidak akan pergi tanpamu kan? Jadi, kau harus kembali atau aku tidak akan pergi kemana pun."

"Gyu, ini bukan saatnya berdebat. Kau tahu Jimin bukan orang yang bisa dipercaya. Tapi ku mohon percayalah padaku. Kau bisa pergi ke London terlebih dahulu. Aku berjanji akan menjemputmu meski aku terlambat."

Lantas percakapan dingin dan penuh enigma itu berakhir pada kalimat terakhir Da In. Bagaimana pun situasi yang terjadi, baik maupun buruk, Mingyu selalu mempercayai Da In. Tidak ada sedikit celah yang membuat Mingyu meragu sebab Da In tidak pernah melanggar janji. Seburuk apapun tabiat wanita picik itu, Da In akan selalu menepati hal-hal yang terucap dari bilah bibirnya.

Dangerous ChoiceWhere stories live. Discover now