LBS-10

1.9K 471 74
                                    

Jangan lupa tanda cintanya, Kakak.
🖤
🖤
🖤

Cerita kita sudah usai, termakan oleh ego dan waktu. Beri alasan, mengapa harus kuambil  risiko bersamamu dan membuat kisah baru?

🔥

Orang bilang yang namanya mantan itu bisa saja bertindak gila. Tadinya Irish tidak percaya. Mana ada orang yang bertingkah tidak wajar hanya karena mantan kekasih? Pemikiran itu ingin Irish ralat setelah meyakinkan diri bahwa Atala yang duduk di sofa ruang kerjanya adalah nyata.

Mereka berpandangan dalam diam. Tatapan Atala tak gentar, tak berpaling dari Irish walau sedetik pun. Gadis itu mati-matian menahan diri agar tidak mengumpat atas hal yang membuatnya terkejut. Mengalah, Irish mendongakkan wajah seraya mengambil napas panjang. Otaknya dipenuhi banyak pertanyaan dan membuatnya bingung mana dulu yang harus diutarakan.

Madam Rose, reuni sekolah, dan sekarang di tokonya sendiri. Irish memijat pelipisnya. Bagaimana semua hal itu terjadi dalam waktu berdekatan seolah-olah adalah kesengajaan. Selama delapan tahun dia tidak menemukan Atala, tidak pula ditemukan. Mereka sudah menjalani hidup masing-masing, tapi segalanya menjadi berantakan.

Kekacauan ini Irish yakini dimulai dari mimpi sialannya hari itu. Berlanjut pada jari menyebalkannya saat bermain Madam Rose. Demi semesta, Irish ingin menggigit sesuatu karena kesal.

“Jujur, aku canggung dan bingung. Apa, sih, yang lagi kamu lakuin, Atala?”

“Tadi ngajakin kamu PDKT, sekarang lagi duduk di ruangan kamu,” jawab laki-laki itu jujur.

Kesabaran Irish kian terkikis. Baru sepuluh menit bersama Atala, kepalanya sudah berdenyut parah. Mendadak Irish berpikir, kenapa dulu dia biasa menyukai laki-laki sok polos seperti Atala ini.

“Mau kamu apa sebenarnya?”

Mulai gemas, nada Irish naik. Atala yang diberi pertanyaan tetap berekspresi tenang. Sepertinya dia sudah menyiapkan diri atas segala kemungkinan reaksi yang Irish berikan.

“PDKT sama kamu, pacaran, tunangan, nikah.”

Gemuruh di dada Irish makin keras. Wajahnya panas, sampai warna merah terlihat di pipinya yang putih. Pelototan Irish tetap tak mengubah ketenangan yang Atala tampilkan. Malah Irish yang jengah karena baru saja laki-laki di sebelahnya mengedipkan sebelah mata; menggoda.

Dengkusan Irish membuat Atala menahan senyum. Gadis itu tidak buta untuk melihat reaksi lawan bicaranya. Lagi-lagi dia mengembuskan napas panjang. Segala usaha, kesedihan, luka, dan air mata Irish setelah berpisah dengan Atala seperti tidak berarti. Segalanya bak lenyap sebab si pembuat luka bisa duduk santai di dekatnya.

Bertemu lagi, memulai kisah baru, dan berada di situasi yang rawan bukanlah yang Irish inginkan. Sedikit pun dia tak berminat kembali pada Atala, apalagi merebut suami orang. Harga dirinya sudah pernah hancur delapan tahun lalu dengan hamil di luar nikah. Kembali pada Atala yang telah menikah adalah kesalahan yang tidak akan Irish lakukan.

“Mimpi aja kamu, At. Kamu pikir aku mau dipoligami? Heh, mending aku nggak nikah.”

Untuk meredakan gejolak di perut dan dadanya, Irish bangkit dan meraih gelas di meja kerjanya. Dia memunggungi Atala. Tangannya kemudian berhenti bergerak, urung menempelkan tepi gelas itu ke bibirnya. Kesiap berhasil menguasai Irish. Rasa tidak nyaman makin memperburuk kondisi dada dan perutnya. Semua itu karena kata-kata Atala yang seharusnya tidak penting bagi Irish, tapi entah mengapa memberi efek luar biasa.

“Aku duda, Rish. Istriku meninggal tiga tahun lalu. Cincin ini resmi aku lepas, tanda aku nggak main-main.”

Dentingan ringan sebuah benda kian membekukan Irish. Dia tidak berani menebak ataupun menyatakan secara langsung bahwa cincin Atala-lah yang bersuara. Harusnya Irish tidak peduli, tapi tubuhnya membalik pelan dan matanya tertuju pada meja kaca di dekat Atala. Ada sebuah benda yang tentu Irish yakini sebagai milik laki-laki itu.

Love Blooms Slowly(Sudah Terbit)Where stories live. Discover now