Sepasang Mayat

1.8K 130 6
                                    

Hallo semuanya, Megakata datang dengan cerita baru. Dengan genre baru yang akan sedikit 'liar'. Aku hanya berpesan untuk dibaca ketika emosi kalian sedang baik.

Yang sedang Depresi aku gak menyarankan membaca, semoga kalian dapat mengambil hikmah dari cerita ini.

Cerita ini bakal selesai, Tenang! Karena draftnya juga udah ada sampai ending. Jadi, jangan lupa untuk selalu mengikuti cerita 'Sebuah Dandelion dari 056'

Salam💙

**

(Februari, Kota Tanah Padat 2000)
Sepasang Mayat

Pukul 16.45. Alangkah malangnya sebuah nasib dari pengangguran. Waktu-waktu yang terasa begitu lambat saya rasakan, seperti tawa-tawa angin yang mencemooh siang dan malam. Dengan keadaan diri yang tengah menatap bayang-bayang kesibukan kehidupan, dan juga tengah membiarkan keramaian-keramaian di kepala berputar hampir meledakkan keluhan panjang yang bertahun-tahun di pendam.

Tepatnya di sebuah atap gedung besar nan tinggi, saya menggelantungkan hidup saya diatas ketinggian sekita 25 meter, sore itu. Saya duduk di pinggir atap yang membuat saya seolah-olah adalah anak kecil manis yang duduk sambil mengayunkan kakinya pada gedung yang tingginya  dapat meremukan diri saya, bila saja angin terlalu kuat meniup saya hingga jatuh.

Pikiran konyol itu mungkin akan terealisasikan, akan terjadi, bukan karena kerasnya angin tetapi karena kerasnya takdir yang menyengsarakan, kerasnya hidup yang membuat saya kembali tersadar tujuan saya berada di perbatasan atap ini.

Meninggalkan dunia, dan menyelesaikan kehidupan dengan sia-sia.

Sore seperti sebuah panggung yang tak peduli pada salah satu manusianya yang tengah putus asa ini. Sebab keindahan merah senja sudah tidak begitu menarik bagi saya, sudah seperti kubangan lumpur yang kotor dan tidak menawan sama sekali. Padahal surya yang tengah meredup itu memunculkan semburat warna apik, yang menerpa sisi wajah kiri saya. Ia seolah-olah tengah membisikan kalimat “Aku begitu hangat, tidak maukah kau sebentar lagi bertahan di Bumi?” kalimat yang tak lagi indah jika tak diiringi kepastian hidup baik di masa depan.

Pikiran manusia-manusia yang kacau, memang terdengar seperti sampah! Apalagi dengan gelar pengangguran, ah sudah tak lagi terdengar seperti pikiran manusia.
Terik itu begitu menyengat, seperti memperingati saya bahwa neraka akan lebih panas untuk kehidupan saya selanjutnya disana. Sekali lagi, manusia kacau memang selalu berpikir seperti sampah! Sebab hal itu tidak membuat saya berpindah dari tepi jurang kematian ini.

Pemandangan dari sini cukup membuat saya senang, saya begitu bahagia ketika melihat orang-orang dan kendaraan sangat kecil di bawah kaki saya. Lucu sekali jika mengingatnya, ketika saya yang dianggap sebagai pecundang selama 23 tahun ini, justru merasa hebat hanya dari sebuah atap hari itu.

Kekonyolan itu ingin sekali saya abadikan, ingin sekali saya simpan sebagai kenangan bahwa saya pernah berada diatas orang-orang bumi yang menyebalkan.

Lagi-lagi pikiran sampah itu datang!
Pikiran sampah yang berawal dari kesalahan nama, sempat membuat saya sadar. Saya pikir memang benar, sesuai nama yang disematkan dalam tubuh Saya. Zero. Kekosongan, kehampaan, dan pecundang. Tiga kata yang mungkin bisa menggambarkan diri saya ketika ada seseorang yang menanyakan Zero orang seperti apa? Andai saja kalimat nama adalah sebuah doa tidak pernah saya dengar, mungkin akan beda ceritanya. Tidak akan memengaruhi saya sekalipun nama saya adalah sesuatu yang tak bermakna.

Sebuah Dandelion dari 056Where stories live. Discover now