Alasan Pijar Menangis

399 60 1
                                    

Desember 2000

Dulu sebelum saya bertemu Pijar, saya pernah sangat ingin menjadi seorang tentara. Mengingat bagaimana mereka gagah dengan seragamnya, dan disegani banyak orang. Tetapi kemudian saya juga menginginkan sebagai anggota dewan.

Tentu saja karena gajinya banyak! Lalu setelah bertemu Pijar, keinginan saya menjadi lebih sederhana tetapi semakin susah.

Saya ingin punya rumah sendiri.

Hampir 11 bulan berlalu, tidak terasa sudah hampir di penghujung tahun. Hampir setiap hari saya bekerja, bahkan karena itu saya menjadi jarang sekali mengunjungi Pijar. Perlahan, akhirnya saya bisa mempunyai uang yang cukup untuk mengontrak.

Saya juga menyimpan beberapa untuk membuka usaha sendiri rencananya.

Ternyata Tuhan memang sebaik itu, padahal untuk ukuran hamba yang tidak begitu taat ibadah kepada-Nya, seperti saya. Pengangguran yang pernah merencanakan bunuh diri ini, ternyata masih mampu bertahan sampai di akhir tahun 2000. Kuasa Tuhan memang sering tidak saya sadari, tetapi mengingat bahwa bisa saja Tuhan mencintai Pijar jadi dia mempermudah jalan saya untuk mencari uang untuknya, lagi-lagi saya harus berterima kasih pada takdir baik ini.

Hari itu saya ingat sekali untuk mengecek kontrakan yang nantinya akan saya tempati. Saat itu, saya berjalan menuju alamat yang sudah saya dapatkan dari teman saya. Agak jauh dari tempat saya kerja memang, tetapi mengingat bagaimana kerasnya saya bekerja untuk mendapat uang, rasanya sangat sayang jika saya gunakan untuk hal yang sebenarnya dapat saya lakukan tanpa mengeluarkan uang. Seperti ngojek misalnya.

Jadi, lebih baik saya jalan kaki untuk menuju ke sana.

Hampir 45 menit saya berjalan dan akhirnya sampai ke tempat yang saya maksud. Rumah itu sepertinya memang sudah lama tidak dihuni, karena rumput di halaman depan  sudah panjang dan juga banyak daun kering yang jatuh entah dari pohon mana. Sepertinya memang jarang sekali dibersihkan, melihat besi gerbang berkarat, dan kaca-kaca yang begitu kusam serta beberapa retak sana-sini. Saat saya sedang mengamati kondisi rumah, tiba-tiba seseorang datang dari belakang dan menepuk saya.

“Anda yang akan menyewa rumah ini?” tanya seorang perempuan, yang saya rasa agak sedikit lebih tua dari saya. mungkin sekitar 3 atau 4 tahun di atas saya. Terlihat dari dandanannya yang nampak dewasa dengan bibir merah serta rambut panjangnya yang dicat coklat muda.

“Ah, iya. Apakah anda yang menyewakannya?” kata saya setelah cukup memerhatikan perempuan itu.

“Iya, ini dulunya rumah tante saya. Tapi karena beliau memilih menetap di Singapura, jadi rumah ini kosong,” jelasnya.

Dari penjelasan setelahnya saya juga mengetahui bahwa beberapa bagian atap rumah bolong, dan juga bagian depan rumah yang memang belum sempat dibersihkan. Selain itu keadaan rumah bisa dikatakan baik. Jujur saja, hal yang terpenting adalah tempat dengan lingkungan yang aman dan persediaan air yang memadai. Kendala atap bocor, bagi saya dapat saya benarkan nanti.

“Benar, harga sewanya segitu?” saya memang kurang yakin, nyaris tidak percaya saat mendengar harga sewa yang menurut saya cukup ringan. Tetapi justru pertanyaan saya dijawab dengan tawa dari perempuan yang sedari tadi menemani saya keliling rumah itu.

“Iya, karena memang ini sudah ibarat gudang bagi keluarga saya setelah kepindahan tante, tidak masalah jika menyewakan dengan harga murah.”

Oh Gudang.

Saya kembali mengangguk. Setelah kesepakatan, saya mengatakan akan menempatinya di tanggal akhir bulan Desember, tetapi dia sudah memberikan kunci rumahnya pada saya hari itu. Katanya bila sewaktu-waktu saya berubah pikiran untuk mempercepat menempati rumah itu. Dia juga menunjuk rumah yang cukup besar di depan jalan saat itu, katanya itu adalah rumahnya. Saya hanya mengangguk karena memang saya tidak tahu apa yang harus saya ucapkan.

Sebuah Dandelion dari 056Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum