Kepercayaan Seorang Zero

335 56 9
                                    

2012,  disebuah sekolah menengah.

Masa-masa yang saya lewati dengan Pijar sudah berlangsung lama. Bocah keriting kecil itu sudah beranjak dewasa. Bahkan seragamnya saja sudah berganti menjadi putih abu-abu. Pijar Dandelion, kini sudah tumbuh menjadi gadis yang manis, gadis yang terlihat gigih sekolah, aktif mengikuti kegiatan, dan juga gadis baik yang selalu membuatkan saya kopi di pagi hari.

Saat itu Surya dan Pijar baru saja pulang dari sekolahnya, lebih tepatnya Surya yang saya kirim untuk mau menjemput Pijar.

Surya sudah lulus dari beberapa tahun yang lalu, dan selama beberapa tahun terakhir ini dia memang hidup bersama saya, sesekali dia memang akan pulang ke rumah yang tentu saja diberi pesangon dari orang rumahnya berupa memar sekujur tubuh.

Anak itu memang tidak ada kapoknya, apa dia tidak pernah mau berdoa pada tuhan untuk menggantikan ayahnya menjadi orang lain saja? Meski pertanyaan itu terdengar seperti lelucon, saya benar-benar berharap bahwa jika reankarnasi itu ada, maka saya berharap bahwa Pijar dan Surya tidak di lahirkan dari keluarga yang sama.

Saya harap mereka terlahir kembali menjadi manusia dengan banyak kasih sayang, kehidupan yang nyaman dan aman.

Kembali ke masa sekolah Pijar, saya tidak begitu ingat tentang masa-masa SMA Pijar sebenarnya. Sesekali saya menanyakan apakah dia kekurangan pesangon, atau ada buku tambahan yang harus dia beli dan kebutuhan lainnya.

Tentu saya tidak akan menanyakan apakah dia kesulitan dalam mata pelajaran tertentu, karena saya jelas tidak bisa membantunya. Tetapi dari segala pertanyaan yang sering saya tanyakan itu, Pijar hanya menjawab bahwa semuanya cukup.

Dari kecil, Pijar memang tidak pernah mau membebani saya dengan hal-hal aneh, meski kadang saya merasa tidak berguna, tetapi Pijar selalu mengerti untuk menjaga perasaan saya. Dia sesekali akan meminta bantuan saya terhadap suatu hal yang sebenarnya saya tahu bahwa dia bisa memperbaiki sendiri. Seperti membenarkan rantai sepede misalnya. Intinya Pijar selalu tahu bagaimana menjaga perasaan saya, dengan cara-cara yang begitu sederhana.

Maka dari itu, meski tanpa Pijar minta, saya pun selalu ingin membelikan sesuatu yang membuat dia senang.
Saya ingat hari itu, saya berniat membelikan Pijar ponsel baru. Saya tahu anak sekolah jaman sekarang sangat membutuhkan alat canggih itu. Entah memang sebagai media pembelajaran atau memang sudah merupakan tuntutan zaman.

Meski Pijar tidak memintanya, saya cukup prihatin ketika melihat dia yang setiap hari selepas pulang harus ke warnet untuk mencari materi-materi yang tidak ada dibukunya. Jadi, saya inisiatif untuk membelikan Pijar alat canggih itu.

“Jadi merek apa yang akan kau beli?” tanya Omera ketika kami sampai di salah satu pusat belanja.

“Saya bahkan tidak terlalu tahu merek hp saat ini.”

“Lah, gimana sih, terus nanti mau bilang apa?”

“Bilang saja yang cocok untuk SMA,” Omera hanya geleng-geleng kepala mendengar jawaban saya. Perempuan dewasa ini begitu sabar menghadapi lelaki yang kaku dan ketinggalan jaman seperti saya, dan yang paling membuat saya nyaman dengan Omera adalah sikapnya yang jujur dan loyal. Jika dia tidak menyukai sesuatu maka dia akan berkata benci, jika dia membutuhkan bantuan dia tidak malu meminta tolong, dia juga wanita yang selalu paham caranya berterima kasih.

Intinya, Omera adalah perempuan kedua yang membuat hidup saya menjadi berwarna setelah Pijar.

Sampailah kita disalah satu toko, seketika saya berdecak kagum melihat banyak sekali model-model baru hp saat ini. Saya meringis mengingat bahwa saya sudah lama sekali tidak memikirkan kebutuhan tersier seperti hp.

Sebuah Dandelion dari 056Where stories live. Discover now