Surya yang Tidak Pernah Bercahaya

165 14 0
                                    

Surya yang Tidak Pernah Bercahaya

Sering sekali kita mendengar bahwa nama adalah doa. Orang-orang berlomba memberikan nama yang baik pada anaknya. Berharap nama itu menjadi sebuah berkah yang dapat membawa sang anak ke dalam kehidupan di masa depan dengan takdir yang baik. Awalnya perkiraanku pun begitu, bahwa nama pasti berpengaruh sekali pada kehidupan anak. Maka dengan sangat yakin, aku begitu mencintai namaku. Surya.

Sur.ya n matahari. Lalu matahari n benda angkasa, titik pusat tata surya berupa bola berisi gas yang mendatangkan terang dan panas pada bumi pada siang hari. Mengutip dari KBBI. Namaku ternyata begitu penuh dengan hal-hal baik. Mungkin saat itu Mama dan Papa begitu bahagia hingga memilihkan nama yang paling luar biasa untuk disandang anak pertamanya, tetapi Mama dan Papa tidak pernah tahu bahwa ditahun-tahun yang akan datang, petaka bisa saja bertamu tanpa diminta, bisa saja menghacurkan harapan baik dari sepasang suami istri kepada anaknya. Kemudian petaka itu berujung pada hal-hal yang justru membunuh doa mereka sendiri, menyalahkan anaknya yang dinamai dengan kata terang, pusat tata surya, menjadi sebuah hal yang paling gelap, paling suram dan tidak layak menjadi kebahagiaan. Justru doa yang mereka lambungkan tinggi di hari kelahiranku, mereka ubah menjadi sang surya yang tidak bercahaya. Setelah hari itu, aku tidak lagi mencintai namaku. Namaku hanya sebatas nama, surya bukan doa, bukan identitas atau pengharapan atas takdir baik. Surya hanyalah surya, yang kebetulan disematkan pada lelaki malang yang tidak pernah di akui oleh ayahnya.

"Pijar, sarapanmu sudah siap. Kemarilah untuk makan," suara Tante Omera seketika juga membangunkanku. Dari kamar yang dibangun di dekat bengkel ini, aku mencoba mengumpulkan kesadaranku. Ternyata hari sudah siang, kembaranku sudah muncul dari celah kusam jendela. Aku ikut bangkit dan memasuki ruang makan, lebih tepatnya dapur yang disi oleh meja dan kursi.

"Pijar belum bangun?" tanyaku sambil menuangkan air putih.

"Kurasa belum, aku akan membangunkannya" jawab tante omera yang langsung ku tahan.

"Biarkan aku saja, tante menyiapkan makanan disini,"

Aku segera beranjak ke kamar Pijar, dari arah dapur aku hanya perlu melewati satu pintu hingga sampailah di depan kamar gadis itu.

Tok tok

"Pijar, bangunlah. Sarapanmu sudah disiapkan,"

Sepertinya gadis itu tertidur terlalu larut malam tadi, mengingat bahwa dia belum terbangun saat ini.

"Pijar, kau mendengarku? Bangunlah!"

Pijar tidak pernah sampai sesiang ini bangun, perasaan khawatir seketika menyentuhku. Aku membuka pintu kamarnya yang ternyata tidak dikunci, Pijar tidak pernah lupa mengunci pintu kamarnya setelah tragedi mengerikan itu terjadi. Tetapi kali ini dia benar-benar tidak mengunci kamarnya. Aku memasuki kamarnya yang masih gelap sebab gorden jendelanya yang belum disingkap.

Kosong.

Kamar itu tidak memiliki nafas, tidak ada detak di dalam kamar Pijar. Pemiliknya tidak ada, aku segera keluar dan memangil meneriakkan namanya.

"Ada apa?" tanya Tante Omera yang dengan tergopoh-gopoh datang dari arah dapur.

"Pijar tidak ada di kamarnya,"

Seketika pagi yang begitu damai itu lenyap, aku mengambil jaket dan kami segera pergi mencari Pijar. melupakan sarapan, kami hanya terlalu takut akan kembali datangnya kehilangan.

**

Hanya 3 hal yang sempat membuatku gila dalam hidup, pertama ketika melihat Amel dan Mama meninggal, kedua saat Pijar hampir bunuh diri, dan ketiga adalah sekarang. Aku begitu kalut saat mengetahui bahwa gadis itu tidak ada di kamarnya, aku berkeliling komplek untuk mencari dimana Pijar. kakiku terus berlari menyusuri setiap pojok jalanan, menanyakan banyak orang apakah mereka melihat Pijar. ketakutan itu seperti kekuatan pada akhirnya, tidak pernah sekacau ini setelah aku kehilangan seseorang setelah Mama dan Amel.

Sebuah Dandelion dari 056Where stories live. Discover now