Penantian-penantian Berat

282 49 4
                                    

Minal Aidzin wal faidzin,
Bacanya pelan pelan yaaa :)

Setiap malam, setiap siang, setiap pagi. Ketika sarapan, makan siang, atau makan malam. Hanya ada waktu untuk menunggu dan menunggu sosoknya pulang. Hanya ada waktu untuk duduk dan berharap pintu terbuka lalu menampakan sosoknya, menampakan wajahnya yang mungkin terlihat kelaparan karena terlalu lama pergi.

Ketidakpastian itu seakan merenggut harapan yang ada pada setiap manusia, termasuk untuk seorang anak perempuan. Kedukaan tak lagi begitu terasa menyakitkan, karena setelah kepergiaannya kesedihan itu telah menjadi santapan-santapan setiap waktu. Maka dengan senang hati, aku masih menyiapkan tempat makan kosong lebih di setiap pagi pada meja makan, lalu menyiapkan pakaian nya yang sudah ku setrika. Baju-baju yang hanya kemudian berakhir ditumpuk di atas kasurnya, tanpa sempat sang pemiliknya memakai, atau bahkan menyentuhnya. Kopi yang kusediakan pagi hanya akan mendingin tanpa diminum, lalu sore hari akan ku ulang membuat kopi yang sampai pagi tidak tersentuh. Sesekali lalat yang justru terperosok ke dalam gelas. Mungkin tergoda dengan aromanya atau rasanya, entah. Tapi lalat itu akhirnya menemui kematian.

Hari-hari tidak pernah menjadi membosankan ketika aku jatuh pada halusinasi bahwa masih ada Pijar kecil dan Ayahnya yang baru pulang dari sekolah, atau dari meja makan yang selalu menjadi tempat bertatap dengan mata kelaparan, bisa juga dari sudut Tv yang menggambarkan Ayah sedang menonton Tv dengan sesekali memukulkan remotnya karena terkadang tidak berfungsi. Dalam halusinasi itu, masih ada ayah disana, di segala tempat penjuru rumah, wanginya, kehadirannya, masih ada. Meski nyatanya itu hanya hidup dalam halusinasi yang di buat oleh gadis setengah gila.

“Kau sudah sarapan?”

Suara-suara pertanyaan itu seakan-akan selalu menyadarkanku bahwa sedari kemarin aku menganggap Ayah ada, ayah masih di rumah. Meski nyatanya tidak, lelaki itu tidak ada.

Aku mengangguk menjawab pertanyaan Kak Surya, meski pada akhirnya Kak Surya hanya menghela nafas lelah saat menatap meja makan yang masih belum tersentuh dengan 3 piring, dan juga satu kursi kosong yang dibiarkan siap didepan kursiku. Makanan tak lagi berasa, hambar. Tidak ayam goreng kesukaanku, tidak pecel lele kesukaan ayah, atau sebatas nasi bungkus komplek, semua tidak berasa. Tidak ada kenikmatan yang sama.

“Aku suapin.”

Aku tidak menolak, aku hanya membiarkan Kak Surya menempati janjinya. Aku makan dari tangan Kak Surya, kenangan ini membuatku menginjakan waktu bersama ayah saat itu. Hari dimana pertama kali Ayah mengajakku ke warung pecel lele.

“Nih, nasihnya habisin punya Saya. saya gak terlalu laper” kata ayah sambil menyisihkan separuh nasinya untukku.

“Kamu makan kok berantakan gitu, belum bisa makan pake tangan ya?” Aku hanya menggeleng. Lalu dengan sangat telaten ayah mengambil alih piringku dan kemudian menyuapiku dari tangannya. Dari tangan itulah besar.

Aku di genggam saat keluarga besarku menolakku, punggungku ditepuk saat aku menangis karena kematian kedua orang tuaku, atau saat aku tak bisa membasuh wajahku dengan benar di Masjid kala itu, tangan Ayah Zero lah yang melakukannya. Tangan itu yang menjadikanku besar, yang memperjuangkan rumah untukku, memperjuangkan pendidikanku.

Tangannya yang kasar dan juga hangat. Tangan sama yang selalu menepuk pelan rambut ku ketika kami sampai di panti setiap kami pergi jalan-jalan setelah Ayah menerima gaji bulanan. Kenangan di panti saat itu benar-benar membuatku mengerti, seberapa kerasanya Ayah berusaha. Maka hari yang sebenanya juga cukup berat di panti kurasakan, rasanya tidak bisa aku ceritakan pada ayah. Karena kesulitanku mungkin tidak sebanding dengan kesulitan ayah hidup di jalanan selama berbulan-bulan. Maka meski aku diejek oleh teman-temanku di panti, aku akan diam. Akan tetap memilih tidak mengatakan pada ayah yang juga sedang mati-matian memperjuangkan rumah untuk Pijar kecilnya.

Sebuah Dandelion dari 056Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang