Cerita Panjang yang Tidak Ingin Didengar

132 28 0
                                    

Cerita Panjang yang Tidak Ingin Didengar

Sejak kecil, dari aku berada di Panti aku begitu menyukai dongeng. Kadang aku mendengar dari ibu panti, dari guru-guruku, dan juga dari buku yang ku baca di perpustakaan sekolah. Aku menyukai banyak cerita, dan kadang aku berkhayal menjadi tokoh utamanya. Akhir cerita yang kubaca selalu bahagia, entah memang semua dongeng memiliki akhir cerita yang baik, atau aku yang tidak pernah membaca akhir cerita yang tragis. Tapi kali ini, seumur hidup ini aku benci sebuah cerita,

Ayah bukan pembunuh.

Aku yakin sekali dia manusia baik, dia tidak akan sampai tega membunuh orang. Meski orang-orang tersebut telah melakukan hal yang buruk, tetapi ayah tidak akan pernah bisa membunuhnya.

"Pijar, Zero selalu berkata bahwa kehidupanmu bersamanya selalu diwarnai dengan kedukaan dan juga hal buruk. Sejak dulu, sejak kamu dirundung, dituduh pencuri, ditinggalkan, Zero hanya bisa mengumpati orang-orang itu, hanya bisa mencoba bertahan barangkali takdir mau berbaik hati menghentikan ketidakbaikannya pada hidup kalian. Khususnya untukmu, Pijar."

Ayah tidak pernah semarah ini, ayah tidak pernah sampai kehilangan kendali seperti ini.

"Kamu tidak mau menemuinya saat itu, Zero begitu terpukul. Dia merasa bahwa kau membencinya, dia menyalahkan dirinya sendiri atas dasar kesialan yang kamu hadapi. Malam itu, hujan rintik. Aku masih begitu ingat Zero pulang ke rumah sambil menangis ketakutan dan mengatakan bahwa dia tidak sengaja membunuh mereka. Zero memang ingin membalas perlakuan mereka, tetapi dia tidak pernah berniat membunuh mereka Pijar. Dia kalap saat masih mendengar tawa mereka sambil menyebut-nyebut namamu. Zero kalap malam itu,"

"Aku tidak menyalahkanmu Pijar, Zero memang begitu menyayangimu. Hubungan kalian justru lebih kuat dari ikatan darah. Zero benar-benar tidak menginginkanmu mendapatkan kesialan itu, aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku mengingat hal ini saat teman Zero mengatakan bahwa Zero bertanya mengenai tempat buruk itu."

Aku masih tidak menanggapi cerita Tante Omera, rasa-rasanya aku baru saja didongengi cerita panjang yang begitu menakutkan, cerita panjang yang tidak pernah ingin kudengar, cerita kelam dari seorang ayah yang hilang kabar sebab dendam. Tidak, ayah tidak berniat membunuhnya. Justru secara tidak langsung akulah yang telah membunuh batin ayah. Akulah yang menjadi akhir dari cerita tragis ini.

"Pijar, kau baik-baik saja?"

Aku tidak tahu apakah mati rasa bisa disebut dengan baik-baik saja. Aku tidak tahu lagi kenyataan mana yang begitu menyakitkan saat ini, aku tidak paham lagi bagaimana rasanya kehilangan sesuatu yang berarti. Tiba-tiba semua hampa, hanya penyesalan mengapa aku harus menjadi bagian hidup dari ayah, tidak seharusnya ayah menjadi orang jahat, tidak seharusnya ayah membalas dendamku, tidak seharusnya ayah sekarang hilang dan menanggung dosa-dosanya yang justru disebabkan olehku.

"Pijar, "

Aku menatap Tante Omera yang juga kini sedang menatapku.

"Jangan, kumohon jangan sedih,"

Bagaimana manusia bisa egois sekali, tidak membiarkan dirinya sedih. Mereka memilih memendam kesedihan itu sebab seakan-akan kesedihan adalah kesalahan? Adalah kelemahan? Lalu apa gunanya manusia memiliki bermacam emosi jika yang boleh dilakukan hanya bahagia dan bahagia. Ah tidak, bagaimana aku bisa melakukan kebahagiaan itu sedang hidupku saja tidak pernah memilikinya. Sedang selama ini saja ketakutan akan penderitaan selalu memenuhi harapan-harapan yang gagal tumbuh dalam pemikiran. Apalagi sejak tidak adanya sosok Ayah.

Ayah bohong. Dalam mimpiku ayah mengatakan aku harus bangun jika ingin melihat ayah, katanya takdir masih berhutang kebahagiaan padaku. Tapi aku tidak menemukannya dan aku tidak melihat takdir yang baik. Aku hanya ingin Ayah pulang. Aku menangis dengan begitu keras, mencoba melepaskan selang-selang oksigen yang ada. Aku tidak ingin hidup lagi beban ini begitu berat. Aku tidak bisa untuk bangun lagi...

Sebuah Dandelion dari 056Where stories live. Discover now