Rumah Baru Pijar

348 57 0
                                    

Desember 2000

Ada perasaan takut ketika saya memasuki pekarangan rumah, ketakutan saya karena saya tidak dapat mengetahui ekspresi apa yang ada di wajah Pijar saat itu. Saya takut Pijar kecewa melihat bagaimana rumah yang dia tunggu hampir satu tahun, ternyata hanya sebuah bangunan sederhana dengan taman yang sudah mati.

Tetapi ternyata itu hanya pikiran buruk saya saja, mengingat ketika bagaimana saya berkata,

“Ini rumah kita yang baru, Pijar,” kata saya sambil melihat apakah Pijar merasa kecewa atau tidak, namun yang terjadi sebaliknya, justru Pijar segera melepaskan tangan saya dan berlari dengan riang.

Dia nampak berdiri di tepi jendela seakan sedang mengintip ada apa di dalam sana. Padahal saya yakin bahwa jendela itu tidak bisa dilihat lagi karena tebalnya debu yang menutupi. 

“Mau masuk?” Pijar dengan antusias menganggukkan kepalanya. Saya membuka kunci yang memang sudah saya bawa. Meski saya tadi berbicara bahwa akan menempati rumah ini akhir bulan, saya memutuskan untuk pindah hari itu. Mungkin saya akan menemui sang pemilik nanti. Sesaat setelah membuka pintu, Pijar dengan semangat masuk ke dalam sana.

Saya hanya tertawa kecil sambil membawa barang-barang Pijar yang tergeletak di teras rumah.

Setelah kami memasuki rumah, dihadapkan dengan beberapa ruangan. Ruangan pertama yang langsung dihadapakan saat kami membuka pintu adalah ruang tamu, 2 kursi panjang dan 1 kursi kecil. Lalu ada 2 pintu disebelah ruang tamu  yang ternyata berisikan kamar. Masuk lebih dalam ada dapur yang menyambung dengan ruang makan dan juga kamar mandi. Hanya seperti itu, tidak ada ruang khusus selain latar depan yang agak luas. Mungkin akan pas jika saya nanti mendirikan usaha di depan rumah.

“Kau bisa pilih kamar yang manapun,” ujar saya membuyarkan binar kagum saat Pijar menatap rumah ini.

Saya jadi penasaran, sudah pasti rumah Pijar yang dulu lebih dari ini bukan? Tetapi mengapa rasanya dia seperti begitu senang dengan keadaan rumah yang bahkan atapnya bolong?

“Ha,,ga ya” ujarnya sambil menunjuk salah satu kamar. Saya hanya mengangguk membiarkan dia masuk.

Sampai tiba-tiba suara Pijar yang menjerit, ah tidak menjerit tetapi mengeluarkan bunyi terkejut khasnya yang agak lucu. Saya masuk ke kamar, ternyata ada tikus. Dengan kikuk saya menggaruk leher belakang saya, menatap Pijar yang membulat mata dan bibirnya seolah tidak menyangka bahwa akan disambut oleh tikus di hari kedatangannya.

“Sepertinya kita harus membersihkan rumah ini dulu. Hem?” ujar saya sambil meringis malu.

“Ha…” 

**

Saya jadi mengerti mengapa dulu ibu saya sering marah jika saya tidak membenahi kamar saya sendiri. Alasan utama adalah bersih-bersih itu melelahkan. Saya tidak bohong. Padahal tadi saya memulai bersih-bersih kamar dari pukul 15.00 dan baru benar-benar selesai setelah hampir Isya. Sungguh, ini memang pantas disebut gudang. Debu yang tebal di sudut rumah seakan tak pernah habis untuk dibersihkan, belum lagi dengan sarang laba-laba di setiap pojok tempat, dan masih banyak lagi kekurangan yang baru terpikirkan saat saya membersihkan rumah ini.

Kompor gas yang mati sebab terlalu lama ditinggal, tabung gas yang tidak berisi, peralatan dapur yang hanya terdiri dari panci kecil, sendok, gelas, piring yang hanya berjumlah 3 itu, membuat pikiran saya segera menuliskan apa-apa saya yang perlu saya beli nanti.

Sebuah Dandelion dari 056Where stories live. Discover now