Menelusuri Ayah Zero

162 35 1
                                    

Menelusuri Ayah Zero

Dulu saat aku bermain dengan anak-anak seumuran ku di komplek, aku sempat dikabarkan menghilang. Waktu itu saat SD entah kelas berapa, aku ingin sekali memiliki banyak teman. Bermain, dan juga ikut membeli jajanan pasar bersama mereka. Aku tidak masalah dari dulu di panggil si gagu, si bisu atau haba-karena suaraku yang tidak jelas ini. Selama mereka mau berteman denganku, aku cukup senang.

Saat itu kami bermain petak umpet, dan aku kebagian bersembunyi. Aku memilih bersembunyi di semak-semak. Tetapi ada seorang anak yang menghampiri ku dan mengatakan

"Kalau sembunyi disini kamu bakal ketahuan, mending sembunyi di gedung itu aja. Gedung yang lagi dibangun tuh" Saking senangnya mendapat saran tempat, aku langsung beranjak dan memasuki gedung besar yang sedang masa pembangunan. Tetapi aku tidak tahu, kalau ternyata anak-anak yang bermain denganku memang berniat mengerjai ku. Aku terkurung disana. Dengan suara yang aneh aku berteriak memanggil meminta tolong, tetapi tidak ada jawaban. Dan aku juga pada akhirnya tertidur karena rasa lelah.

Yang aku tahu setelah itu adalah aku bangun di gendongan ayah, hari sudah malam dan aku mengantuk untuk menanyakan kenapa ayah bisa sampai menemukan ku. Hari berikutnya Ayah mendiamkan ku. Aku bingung sekali, apa yang telah kuperbuat.

"Saya begitu Khawatir padamu, Pijar!" Nada ayah memang tidak membentak, tetapi cukup berbeda dari cara biasanya beliau bicara.

"Saya sempat seperti orang gila yang menanyakan keberadaanmu pada setiap tetangga,"

"Saya juga sangat marah sampai membuat anak-anak tetangga yang membiarkanmu dan mengurung mu di gedung besar itu menangis."

"Saya takut sekali kamu tidak pulang Pijar,"

Maka Aku memeluk ayah dengan erat, ternyata ayah mencariku. Ayah mengkhawatirkanku. Aku begitu terharu mengingat hari itu, ayah selalu menyempatkan bermain denganku karena takut aku dikerjai lagi, ayah tidak hanya sosok orang yang kusebut orang tua. Tetapi dia juga temanku, dia adalah segalanya bagi hidup gadis cacat sepertiku. Aku menghembuskan nafa kasar ketika memoriku tentang Ayah kembali datang, kali ini aku harus mencarinya, menemukannya dan memelukannya lalu mengatakan bahwa aku begitu merindukannya, bahwa putrinya begitu menyayangi ayahya. Mungkin hari itu ayah tidak tahu, dalam setaip ketakutanku aku hanya menggumamkan Namanya, aku hanya berharap dia datang, dan mungkin saja ayah selalu mengumakan namaku juga, meski aku tidak tahu dimana dia berada.

**

Aku, Kak Surya dan juga Tante Omera memulai untuk mencari ayah dengan berkeliling dan menanyakan kepada beberapa orang sekitar. Selalu kutaruhkan harapan pada setiap orang yang kami temui di jalan. Kami pergi ke tempat dimana ayah bekerja dulu, sambil mengistirahat kaki yang sudah 4 jam berjalan. Dulu ayah sempat bekerja di sebuah kedai, begitu kata Tante Omera.

"Jadi, Bang Zero belum pulang sejak beberapa minggu yang lalu?" Tanya salah satu pegawai yang mengaku mengenal Ayah.

"Belum, makanya kami menanyakan kesini. Barangkali dia sempat singgah belakangan disini."

"Setelah kepindahan Bang Zero, dia sudah jarang mengunjungi kami. Dulu, dia begitu semangat bekerja disini, katanya, dia ingin menyewa rumah untuk putri kecilnya. Heran, lelaki muda seperti dia sudah mempunyai anak." Jawabnya tanpa tahu bahwa anak yang diceritakan Ayah adalah aku. Seketika tanganku berkeringat, mengingat bagaimana beratnya perjuangan ayah dulu untuk mengumpulkan uang, merencanakan kepindahan kami agar aku tidak perlu tinggal di panti. Saat-saat berat yang aku lalui kupikir tidak akan sebanding dengan beratnya beban yang lelaki itu tanggung.

"Bang Zero pernah bercerita tentang putrinya?" tanya Kak Surya yang seakan mewakilkan pemikrianku. Kami bertiga menatap pegawai yang sedang mengambil waktu istirahat untuk duduk bersama kami itu dengan penasaran.

"Selalu, setiap hari dia akan menceritakan bagaimana kabar putrinya. Putrinya yang sudah mempunyai pakaian bersih, atau bercerita saat dia bisa membawa putrinya jalan-jalan ke alun-alun, banyak sekali. Hal-hal kecil yang putrinya lakukan selalu menjadi cerita paling luar biasa bagi Bang Zero"

Sesak sekali ayah, mengapa aku harus mendengar semua ini saat aku tidak tahu engkau dimana. Dari dulu ayah tidak pernah menunjukan rasa letih dihadapanku, kami selalu menjaga dengan saling menyembunyikan luka. Maka ketika kami sama-sama tahu betapa pedihnya luka yang saling disembunyikan, itu justru semakin menyakitkan.

"Mungkin saja, kalian bisa tanya ke warnet tempat Bang Zero kerja dulu. Barangkali dia sempat atau justru singgah disana." Ucap pegawai itu tiba-tiba setelah keheningan sempat menyapa kami.

"Terima kasih, terima kasih pernah menjadi teman Zero" ucap Tante omera tulus. Dua orang itu selalu bisa mengerti apa yang ingin sekali aku ucapkan. Setidaknya bersama mereka aku dapat mengucapkan segala pemikiranku tanpa susah payah berbicara.

"Jujur saja, kami yang beruntung pernah bertemu dengan Bang Zero"

Seharusya ayah mendengar, ayah mendengar bahwa masih ada mansuia yang mengakui keberadaanya kecuali aku, Kak Surya dan Tante Omera. Seharusnya ayah mendengar agar dia tahu bahwa dia begitu berharga, bahwa dia bukan pecundang, bahwa dia pantas untuk hidup bersama orang-orang baik. Ayah seharusnya ada disini.

Seketika pemikran buruk tentang ayah juga datang, meski Kak Surya dengan tanggap langsung mengambil tanganku untuk digenggam dengan erat, sanga-sangat erat.

**

Satu hari ini kami tidak menemukan apapun, hanya sebuah cerita singkat ayah saat dulu bekerja di kedai. Karena sudah larut malam, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Tante Omera dan Kak Surya menginap di rumah. Rumah ini sekarnag bukan lagi hanya milik aku dan ayah. Tetapi milik mereka berdua juga. Empat manusia malang yang menyatu pada sudut rumah dengan jendela usang. Mungkin seperti itu gambaran bagi kami. Kami hanya saling mencoba berdiri dengan saling merangkul. Bertahan dengan saling memeluk. Maka kami akan merasa bahwa kami tidak sendiri, kami akan merasa bahwa kemalangan ini juga kekuatan paling indah dalam hidup.

"Besok kita cari lagi, siniin kaki kamu, di rendam pakai air panas sama garam biar gak pegel." Kata Kak Surya yang tiba-tiba datang ke kamarku dan membawa baskom berisi air panas yang tercampur garam. Dengan perlahan, dia mengangkat kakiku lalu memasukan ke dalam baskom.

"a.nt e ana?" 'Tante kemana?'

"Sudah tidur di kamar bang zero, dia kelelahan."

Aku hanya mengangguk, membiarkan Kak Surya yagn juga dengan telaten membasuh kakiku. Mengambil kertas dan pena yang tak jauh dari tempatku, lalu aku menuliskan sesuatu disana.

"Kakak tidak merasa malu memegang kaki wanita?"

Kak Surya menatapku sebelum akhirnya menjawab,

"Tidak. Terlebihnya adalah kaki dari seorang wanita istimewa sepertimu"

"Aku istimewa?"

"Iya."

"Mengapa?"

"keistimewaanmu biar aku saja yang tahu, bahaya kalau banyak yang tahu. Mereka akan mengejarmu nanti"

Aku tertawa menanggapi lelucon dari lelaki datar di depanku. Bersama Kak Surya pikiranku kadang bisa tekontrol, setidaknya bisa membuatku merasakan bahwa aku masih memiliki harapan untuk bertemu dengan ayah.

"Tidur ya habis ini, besok kita cari ayah lagi."

"Ha gan etu aah an?"

"Iya, besok kita akan ketemu ayah."

Sebuah Dandelion dari 056Where stories live. Discover now