Kisah Lain Bernama Surya

302 56 12
                                    

Dipertengahan tahun 2009

Saya tidak terlalu ingat di bulan apa saya bertemu dengan Surya. Tahun-tahun berlalu begitu cepat, bahkan saya sudah menemukan Pijar yang kini mengganti seragamnya menjadi biru putih dari tahun lalu. Saya bahkan sampai lupa hari apa saat dimana awal kelas 2 SMP, Pijar pernah menangis dan mengurung dirinya di kamar.

Saat itu saya sangat bingung, ada apa dengan Pijar. Hampir dari Minggu pagi sampai pukul 1 siang dia tidak keluar dari kamarnya. Bahkan dia tidak merespon saya yang sudah mengetuk pintu kamarnya berulang kali. Saya benar-benar tidak tahu mengapa.

Sampai sebuah kertas saat itu terselip diantara celah pintu kamarnya.

Saya berdarah, tapi saya malu. Karena darah itu muncul dari jalan depan saya untuk buang air kecil

Saya membeku, menggaruk belakang telinga. Rasa khawatir saya seakan menguap begitu saja dan terganti dengan rasa bingung. Saya lupa bahwa Pijar adalah anak perempuan. Saya lupa bahwa perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dari masa puber mereka. Dan Pijar sudah mengalami masa pubernya.

Dia mengalami menstruasi.

Tetapi saya tidak berpengalaman, tahu saja tidak masalah seperti ini. Maka setelah menerima surat dari Pijar, saat itu saya langsung mengeluarkan motor yang dapat saya beli sekitar 2 tahun lalu-tentu saja dengan menyicil. Saya akan menemui Omera dan mengajaknya ke rumah untuk memberi pengertian pada Pijar. Sebelumnya saya menulis surat untuk Pijar bahwa saya akan keluar sebentar.

**

“HAHAHAH”

Tawa Omera menggelegar begitu saja saat saya menceritakan tentang bagaimana Pijar menjauhi saya karena mungkin merasa malu.

“Saya benar-benar tidak tahu harus apa Omera, bantulah saya. Temui Pijar dan kasih pengertian padanya,” pinta saya pada perempuan berkacamata itu.

“Kau tahu Zero, sebanyak apapun usaha seorang lelaki untuk menggantikan posisi ibu. Ketika mereka menghadapi masa puber anaknya. Pasti akan sedikit tabu,“ Omera malah cekikikan.

“Kalau begitu, jadilah ibunya Pijar Ra,” canda saya yang kemudian menghentikan tawa Omera. Omera menatap saya lama sebelum akhirnya justru menendang tulang kering saya.

Sialan!

“Gombalanmu udah basi, hampir 6  tahun mengenalmu membuat saya tidak yakin kau bisa berkomitmen dengan wanita,” ya benar, selama kedekatan kami, saya memang sudah jauh-jauh hari menceritakan posisi Pijar dalam hidup saya. Tentu saja Omera yang awalnya tidak percaya menjadi percaya saat dia saya pertemukan dengan Pijar, seakan heran saat melihat bahwa diantara saya dan Pijar tidak memiliki kesamaan fisik layaknya ayah dan anaknya. Saat itulah perempuan itu pada akhirnya mempecayai perkataan saya.

Dan untuk masalah hubungan kami, kami hanya sekadar FWB. Atau istilahnya Teman dengan Keuntungan.

Paham bukan? Tentu saja, saya dan Omera sama-sama orang dewasa. Kami memang pernah merencanakan kejelasan hubungan kami. Tetapi, Omera pun adalah perempuan dengan sedikit masa lalu kelam dari ayahnya. Dia hampir sama dengan saya, kami tidak terlalu mempercayai hubungan. Dan saya menghargai keputusan itu. Jadi begitulah hubungan saya dengan Omera.

Sesederhana dan terasa serumit yang saya jelaskan.

“Baiklah, jadi bisakah kau menemui Pijar sekarang? Saya khawatir. Dia tidak mau keluar dari kamarnya,”

Ketika Omera menyetujui, kami langsung melesat pergi ke rumah. Sebelumnya memang Omera menyarankan saya untuk ke mini market.

Dan hal yang paling memalukan adalah ketika wanita dewasa itu menjelaskan berbagai macam ukuran pembalut serta kenyamanan dari sudut pandang Omera.

Sebuah Dandelion dari 056Where stories live. Discover now