Seorang Malaikat Bernama Zero

345 53 16
                                    

Malam Petaka
 
        Wajarnya ada hari-hari yang sangat begitu tidak diinginkan oleh manusia dalam kehidupan ini. Salah satunya adalah hari kehilangan. Dari jendela kamar yang kusam, karena seringkali lupa dibersihkan, atau memang tidak pernah mendapat perhatian orang-orang sekitarnya.

Dari dalam sini, aku bisa melihat ayah.

Melihat seorang malaikat yang setiap hari hanya duduk di teras, duduk dengan menatap ke arahku, lalu diam-diam menghela nafas panjang. Entah karena lelah atau karena marah. Kumis dan jenggot tipis yang mulai nampak itu sangat tidak rapi. Ayah tidak terlihat tampan lagi seperti dulu.

Seperti bagaimana Ayah yang mungkin merasa kehilangan, aku pun merasakannya. kehilangan hari-hari bahagia saat kami masih bisa sarapan gorengan bersama, saat kami masih bisa menikmati kue lapis yang dibeli Tante Omera, atau saat dimana Kak Surya yang selalu sengaja menggodaku di depan ayah.

Hari-hari itu kini seolah menjadi ilusi, menjadi bayang-bayang khayal yang pada akhirnya hanya bisa terputar pada memori kenangan sebagai hal yang begitu jauh, begitu jauh untuk kembali dijangkau, begitu jauh untuk kembali didekap. Saat kami justru terperosok jauh pada lubang dalam, pada gelap lorong-lorong putus asa yang kembali datang. Yang padahal selalu kami doakan agar menjauh, agar tak kembali lagi setelah betapa banyak pahitnya perjalanan hidup yang aku dan ayah lalui.

Namun kenyataannya lubang gelap itu datang begitu cepat, tidak memberi peringatan pada kami. Seolah-olah memang direncanakan sebagai sebuah kejutan yang kami namai tragedi. Meski kami pada akhirnya harus melewatinya, harus mencoba bertahan pada kegelapan itu dan mencoba sekali lagi mengatakan bahwa lorong gelap itu akan berakhir.

Namun tidak, sama sekali tidak.

Tetapi kini, justru rasanya keputusasaan yang semakin dekat. Semakin menjerat kami untuk masuk lebih dalam dan lebih jauh pada lorong gelap itu. Hingga kami tidak pernah tahu bagaimana cara menyembuhkan, kami hanya bisa saling menyeret dan menyeret.

“Aku malu, aku malu pada Ayah Zero,” gumaman yang hanya mampu ku katakan dalam hati ini menjadi pengingat, bahwa dari kecil aku tidak pernah mengeluhkan akan kekurangan yang Tuhan berikan padaku sejak lahir.

Aku terbiasa untuk diam, terbiasa untuk memendam segala emosi, terbiasa menjadikan kebisuan ini adalah teman hidupku. Namun untuk kali ini, setelah hari dimana suaraku terdengar menjijikkan, suaraku terdengar seolah suara manusia kotor yang berdosa di malam jahanam, aku membenci keadaanku. Aku benci kecacatanku yang tidak bisa meneriakkan sumpah serapah, aku benci suaraku yang tidak bisa meneriakkan tolong dengan benar.

Hingga kini kecacatan yang kurasakan tidak lagi hanya berada di suaraku, tetapi seluruh tubuh yang melekat ini. Lalu harus ku kemanakan diriku? Sebuah pertanyaan yang tidak bisa kutemui jawabannya. Yang lagi-lagi hanya akan membuatku menangis dan meringkuk ketakutan.

Tidak ada lagi yang bisa menampung kesedihan ini, bahkan diriku sekalipun, rasa lelah yang ku tanggung kali ini tidak bisa kuatasi, tidak seperti rasa lelah karena cobaan yang lalu, dari keluarga yang tidak menganggapku, dari teriakan bisu orang-orang sekitarku, atau dari perilaku buruk teman sekolah padaku.

Tidak ada yang selelah ini, kali ini rasa lelah itu begitu besar, begitu tidak bisa kutanggung dalam hidup.

“Pijar, mengapa kamu tidak mau menemui Zero. Dia terlihat seperti orang frustasi!” Tante Omera masuk ke kamar sambil mengabarkan keadaan Ayah.

Aku tahu, aku tahu ayah begitu mengkhawatirkanku. Dari dulu ayah tidak pernah berubah, selalu ingin tahu keadaanku. Dulu sekali saat aku menginjak umur sekolah dasar, ayah selalu mengantarkanku. Karena setelah Ayah melihat bagaimana orang-orang memperlakukanku dimasa lalu, dia selalu berusaha untuk melindungi putrinya. Ayah selalu begitu, bahasa kakunya yang juga tidak pernah terlepas dari logat bagaimana dia berbicara selalu membuatku gemas dan juga ingin tertawa.

Sebuah Dandelion dari 056Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang