Jeda Panjang yang Membahagiakan

20 9 0
                                    

Jeda Panjang yang Membahagiakan

Hari-hari yang begitu biasa saja, selalu dengan 3 piring di meja makan, pakaian yang disetrika tanpa dikenakan. Dan juga pakaian yang dianggap kotor meski tidak pernah dipakai. Mungkin kehilangan seseorang sudah menjadi suasana yang tidak asing bagi Pijar. Dia sudah tidak lagi menangis tiba-tiba, berteriak atau kabur lagi. Dia menjalani kehidupannya seperti masa lampau saat dimana Bang Zero ada bersamanya. Pagi itu seperti biasa, aku membuka bengkel dan Pijar yang akan berada di rumah membersihkan rumah yang sebenarnya tidak pernah kotor.

"Bang, Bang Zero kemana sih kenapa gak pernah kelihatan lagi?" pertanyaanya yang sama dari orang yang berbeda. Banyak sekali orang-orang yang menjadi pelanggan bengkel menananyakan empunya. Tidak ada jawaban selama ini, kami menutup mulut akan kasus hilangnya Bang Zero. Alasanya sederhana, jika kami menceritakan dari awal maka itu juga akan menceritakan tragedy menyeramkan yang dialami Pijar. Bagaimana bisa Pijar dapat menahan gunjingan dan kucilan dari orang sekitar bila mereka tahu, Pijar sudah kehilangan kehormatanya disaat dia belum menikah?

Kehormatan ya, manusia yang kutemui disepanjang hidup ini memang tidak pernah ada habisnya memikrikan kehormatan yang rumit. Maka, orang-orang seperti kami tahu apa tentang kehormatan itu sendiri? Cukup bisa makan sehari 3 kali, bisa punya alas untuk tidur, dan bangun tanpa hutang adalah kehormatan hidup itu sendiri. Kami tidak pernah meminta lebih. Lagipula, kasus sama yang dialami Pijar selalu menajdikan korban sebagai sasaran empuk pembicaraan buruk dengan ­embel-embe (tidak dapat menjaga diri). Brengsek! Orang-orang yang tidak mengetahui seberapa tertekannya korban pelecehan seksual dan dengan gampangnya mengomentari membuatku ingin menyumpal mulutnya dengan bara. Belum lagi dengan para pelaku yang masih saja banyak dimaklumi, demi tuhan pelaku pelecehan seksual adalah narapidana yang begitu kubenci!

"Bang! Kenapa melamun?"

"Ah, Bang Zero sedang ada urusan "

"Oh.."

Urusan yang sebenarnya bisa saja adalah tebusan kesalahannya, atau urusan untuk menghindari masalah sebab dia mungkin di cap kriminal, atau bisa juga urusan untuk pergi dan melakukan protes pada alam atas takdir buruk yang menimpa putri semata wayangnya. Tidak pernah ada yang tahu urusan seperti apa yang tengah lelaki itu lakukan, tidak ada yang tahu dimana lelaki itu kini berjalan, atau merangkak, atau bahkan hanya terduduk. Maka sekali lagi cara paling mustajab dan sedikit membantu adalah dengan cara yang diajarkan Tuhan. Mendoakan lelaki yang kini entah berada di sudut dunia mana. Mendoakan akan nafasnya yang masih normal, mendoakan akan makanan yang sehat untuk menjadi kekuatanya, dan mendoakan agar dia segera pulang. Memeluk Pijar, mencintai Tante Omera dan duduk sambil menikmati kopi bersamaku lagi.

Mataku kembali focus dengan motor-motor yang ada di bengkel, sampai ketika Pijar keluar dari rumah dengan pakaian yang sebenarnya tidak salah, tetapi melihatnya justru menyesakkan. Gadis itu mengucir tinggi rambutnya, memakai kemeja Bang Zero yang biasanya lelaki itu pakai untuk ke kota, dengan celana jeans yang begitu besar dan sudah dapat kupastikan itu adalah milik Bang Zero.

Setelah mengisi angin pada ban kendaraan terakhir, aku langsung menemui Pijar yang masih mengikat sepatu kebesaran milik Bang Zero.

"Mau kemana?" tanyaku lembut sambil duduk disampingnya,

"Ha? Ghaakk..." ucapnya sambil menyodorkan foto bangunan bertuliskan 'Panti Asuhan Dandelion'.

Pikiranku kemudian melalang buana saat membaca nama panti asuhan itu, sedikit banyaknya aku terlempar kembali pada percakapan dengan Bang Zero saat kami sedang belanja ke kota dan melewati panti asuhan yang dimaksud dalam foto ini,

Jalan yang kami lalui dari rumah ke kota selalu sama, tidak pernah kami menggunakan jalan yang katanya bisa lebih cepat. Saat itu aku hanya mengikuti Bang Zero, melewati jalan yang memang sebenarnya kalau dipikir adalah jalan yang lebih panjang daripada jalan-jalan lain menuju ke kota. Sampai suatu ketika aku menanyakan, alasan mengapa kami selalu melewati jalan itu, mengapa kami tidak melewati jalan trobosan saja.

Sebuah Dandelion dari 056Where stories live. Discover now