Hari-hari yang Semakin Berat

101 20 0
                                    

Hari-hari yang Semakin Berat

Masih kusiapkan tiga piring, satu untukku, satu untuk Kak Surya dan satu untuk ayah. Piring yang tidak pernah terisi sampai aku selesai menikmati makanan. Atau sampai aku selesai mencuci piring. Piring yang tidak pernah memiliki tuannya itu pada akhirnya selalu mengabarkan bahwa dia kosong, dia kehilangan pemiliknya. Dan pemiliknya adalah ayahku.

Kabar lain kudapatkan dari kopi, yang tak tersentuh dan selalu dingin tanpa sempat diminum. Ada lagi, dari baju-baju yang tidak pernah dipakai meski sudah ku setrika dan ku cuci berulang kali.

Hari-hari yang semakin tidak bisa kupahami ini, hanya bisa dijalani dengan rasa sesak. Hari-hari itu hanya sebagai penantian yang tidak memiliki harapan. Penantian yang selalu ditunggu meski tahu bahwa semua itu sia-sia. Maka dengan sisa-sisa kekuatan, hari-hari itu masih cukup sebagai waktu pengingat bahwa kesepian ini semakin lama semakin memasuki hati dalam-dalam.

Perkataan Kak Surya masih sama, masih mengatakan bahwa semua akan kembali baik-baik saja. Tetapi tidak pernah kutemui hari baik setelah kehilangan sosoknya. Kehilangan lelaki baik yang selalu menganggap dirinya pecundang. Pecundang yang mencari keadilan hidup untuk putrinya, pecundang yang tidak henti menangis setiap malam menemani putrinya, pecundang yang bahkan berdoa bahwa seluruh kebahagiaan untuknya serahkan kepada putrinya. Maka lebih baik aku menjalani hidup berat namun berjalan besisihan dengan sosok ayah, daripada aku harus hidup kesepian dan sendirian di bumi ini.

"Piring ini sudah bisa ku kembalikan ke rak?"

Aku yang telah selesai mencuci piring menatap piring kosong yang berada di tangan Kak Surya, dengan berat hati dan nafas yang begitu berat. Aku mengangguk. Membiarkan piring kosong itu dikembalikan tanpa disentuh sang pemiliknya.

"Nanti sore kita pergi jalan-jalan, sekalian terapi untuk pikiranmu ya,"

Aku hanya mengangguk, hanya menuruti Kak Surya dan Tante Omera yang setiap hari selalu membantu agar hari-hari kembali baik. Berpura-pura untuk kembali bahagia. Atau setidaknya berpura-pura sudah menerima kehilangan agar senantiasa orang-orang disekitar menganggap diri adalah orang yang tegar dan tangguh? Kurasa kebohongan seperti itu pada akhirnya hanya bisa semakin membuat luka menganga dengan lebar tanpa disengaja. Alasan-alasan keihklasan yang diucapkan orang-orang seakan tidak pernah bisa menggantikan rasa kehilangan, ketika diri memang benar-benar mengingkari adanya kehilangan hal tersebut. Maka dengan keyakinan yang entah sampai kapan bertahan, aku harus bisa menjelma sebagai Pijar yang membuat Kak Surya merasa tenang. Meski akhirnya aku hanya akan semakin menekan diri dari emosi yang tidak pernah sampai kutuangkan, aku akan bahagia, akan tetap merasa bahwa setidaknya kehidupanku lebih bermakna sebelum kebosanan itu akan datang. Ya, kebosanan yang pada akhirnya seringkali menyeret manusia untuk menyerah, untuk memaksakan dirinya menyadari bahwa kemalangan hidup dapat diakhiri dengan kematian.

Kebosanan yang berujung kematian.

**

Tuhan Maha Adil, dari dulu sampai sekarang. Seperti yang dikatakan psikiater itu padaku, bahwa kemudahan hidup tidak selalu didapatkan semua manusia. Tetapi kekuatan selalu dimiliki setiap manusia yang bernyawa. Jika memang demikian, kekuatan apa yang aku punya, hingga Tuhan memberikan beban sebegitu menyeramkan ini. Kekuatan apa dari anak perempuan yang cacat, saat dia saja tidak yakin bahwa dia bisa berjalan lagi setelah badai besar ini.

"Kau lapar?"

Pertanyaan yang sama, selalu ditanyakan ketika aku baru keluar dari ruang psikater untuk terapi. Aku mengangguk dan kemudian menyambut tangan Kak Surya. Kami keluar dari salah satu tempat praktik psikiater. Tempat yang sudah kujalani hampir 2 bulan ini rasanya sudah tidak asing untuk dapat kuketahui arah jalan menuju tempat makan yang biasa kami singgahi. Ada warung pecel lele. Ya seperti biasa, makanan favoriteku dari dulu yang tidak pernah berganti. Ayam goreng.

"Bang Ayam Gorengnya 2, sama minta piring kosong 1," kata Kak Surya yang sudah paham dengan tabiatku yang selalu makan dengan satu piring kosong. Lelaki yang diam-diam ini selalu mempedulikanku, seakan-akan juga menyadari bahwa ketidakmampuanku menyembunyikan rasa tidak ikhlas itu masih bisa dilihat dari mata. Kak Surya tidak pernah memaksaku, tidak pernah mencoba melarangku masuk dalam imajinasi kehadiran ayah di rumah. Dia hanya sesekali menyadarkanku dengan mangatakan Piringnya Kakak taruh lagi atau Ini Bajunya Kakak masukin lemarinya ayah lagi. Hanya penyadaran-penyadaran kecil yang dilakukannya agar tidak membuatku terlalu jauh memasuki halusinasi sepi itu. Meski kenyataanya di dalam halusinasiku aku begitu bahagia, aku menemukan ketenangan tak berwujud akan kehadirannya, dan aku tidak pernah merasa bahwa meskipun aku akan masuk kedalam halusinasi jauh itu, aku akan terluka. Tidak! Selama disana aku menemukan Ayah dan segala hal tentangnya, maka aku rasanya mampu untuk tenggelam dalam halusinasi itu lama-lama.

Kami makan dengan tenang, dengan satu porsi nasi dan ayam goreng masing-masing. Ditemani suara cekikian sepasang kekasih di samping kanan, lalu suara kompor gas yang dibesarkan oleh pedangan dan juga gerimis yang mengenai tenda warung makan. Udara ini tidak pernah asing bagiku, tidak pernah menjadi hal yang membosankan untuk dirasakan. Karena di dalam tenda-tenda warung itu, ada kenangan seorang putri dan ayahnya di hari pertama gajian. Ada sebuah percakapan yang tidak pernah berhenti memutar dikepala sang putri yang kini kehilangan percakapan itu.

"Gaji pertama Ayah, ayo pesan yang banyak! Kamu mau makan berapa ayam goreng hari ini? Ayah bisa bayar!"

Seruan itu selalu terasa indah. Kata Ayah dengan nada yang begitu bahagia saat dia mendapatkan gaji pertamanya.

"Makanlah PIjar, " suara lembut itu menggema ke dalam telinga, aku tersentak kemudian tersenyum saat netra kami bertatapan.

"Makan yang banyak, kamu harus sehat," setidaknya setiap rasa putus asa itu mulai menyerang, akan ada setitik harapan dari Kak Surya, dari indah nama dan ketulusannya. Meksi tak bisa menyembuhkan seutuhnya, setidaknya dia mampu membendung keinginin untuk tiada hilang meski barang sebentar.

"Gak.." Ucapku sampil menepuk tangannya. Kak Surya menatapku dan menaikan sebelas alisnya menanyakan ada apa.

"ag..ih" Terima kasih kataku tulus. Aku tidak tahu apakah jika nanti aku akan sempat mengucapkan kalimat itu padanya. Maka seberusaha mungkin aku mengucapkannya selama yang aku bisa.

"Aku yang harus berterima kasih padamu, makanlah." jawabnaya sebelum mencium pucuk pelipisku dengan singkat.

**

Lagu yang kuputar disudut kamar gelapku hanyalah rekaman-rekaman ayah. Hanyalah suara ayah yang kuputar dalam rangka membunuh kenyataan bahwa suara itu kini hanya bisa kudengar dari sebuah kaset. Maka cukup hafal kalimat apa yang akan diucapkan ayah ketika rekaman itu kuulang, meski pada akhirnya aku akan berpura-pura tidak tahu kata ayah selanjutnya. Menghadirkan ayah disudut rumah memang paling mudah dilakukan, tetapi selalu saja terasa menyakitkan.

Malam-malam yang panjang tidak pernah setenang malam ketika ayah masih ada di rumah ini, tidak ada teriakan-teriakan Ayah saat menonton bola, tidak ada umpatan ayah saat atap bocor ketika hujan deras, atau gerutuan ayah saat dia lupa membeli pulsa hingga listrik di rumah padam. Tidak ada, semua hanya kenangan lalu yang sangat jauh digapai kembali. Kenangan itu hanya akan hidup dalam hatiku dan hati ayah, entah dimana dia berada. Aku tak pernah henti-henti mendoakan keselamatannya, tidak pernah berhenti mengingat gerutuan dan juga senyum canggung ayah. Aku akan selalu mengingatnya sebagai wujud kebahagiaan luar biasa yang harus kupertahankan saat ini, yang harus ku gunakan sebagai alasan bahwa hidup memang layak dijalani. Meski aku tidak pernah yakin dengan kalimat ini, entah sampai kapan. Mungkin sekali lagi ini yang berulang kali harus kujalani, sampai aku benar-benar menginginkan kematian itu datang menghampiri.

Dengan kalimat-kalimat yang seolah-olah mantra untuk membuatku terpejam, dengan harapan yang begitu besar akan pertemuan, aku menggengam kekosongan yang tak pernah bisa dielak, mengatakan kehadirannya seolah tinggal bayangan, aku akan tetap menggenggam kekosongan itu. Sampai mataku terpejam, larut pada suara malam yang tak pernah henti menyiksaku dengan rasa sesak luar biasa, malam yang tak pernah bersahabat dengan luka batinku akan kenangan buruk dan kehilangan sosoknya. Terkutuklah malam-malam yang mencengkam, yang semakin membuat hari-hari ini terasa berat. Terasa tidak pantas lagi untuk diperjuangkan. Aku sudah mulai melantur, aku ingin tertidur. Aku ingin bermimpi panjang bersama ayah, aku ingin mataku terpejam lama.



Sangat, sangat lama.

Sebuah Dandelion dari 056Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang